FILSAFAT
UMUM
(
Materi Kuliah Semester 1 satu )
Dosen Pengampu :
Drs. H. Abdul Muchit, M.Ag
JURUSAN TARBIYAH
Program Studi :
Pesdidikan Agama Islam
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NAHDLATUL ULAMA
TEMANGGUNG
2013
DASAR-DASAR FILSAFAT
1. Pengertian Filsafat
Filsafat
adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara
kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan
melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan
mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan
argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari
proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk
studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
Logika merupakan
sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan
filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi
tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi,
keraguan, rasa penasaran dan ketertarikan. Filsafat juga bisa berarti
perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak
tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis yang mempertanyakan
segala hal.
Secara harfiyah atau etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan dan
kebenaran. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, yang merupakan kata
majemuk dari Philia dan Sophia.
Menurut Poedjawijatna filsafat berasal dari kata Arab yang erat
hubungannya dengan bahasa Yunani, bahkan asalnya memang dari kata Yunani, yaitu
philosophia, yang merupakan bentuk kata majemuk dari philo dan sophia.
Philo berarti cinta atau keinginan dan karenanya
berusaha untuk mencapai yang diinginkan itu. Sedangkan sophia berarti kebijakan
(hikmah) atau kepandaian. Jadi filsafat adalah keinginan yang mendalam untuk
mendapatkan kepandaian atau cinta pada kebijakan.[1][1] Harun Nasution juga mengatakan bahwa filsafat berasal dari bahasa Arab,
yaitu falsafa dengan wazan atau timbangan fa’lala, fa’lalah dan fi’lal.
Kalimat isim atau kata benda dari kata falsafa ini adalah falsafah
dan filsaf. Dalam bahasa Indonesia, lanjut Harun banyak terpakai kata filsafat, padahal bukan dari kata falsafah
(Arab) dan bukan pula dari philosophy (Inggris), bahkan juga bukan
merupakan gabungan dari dua kata fill (mengisi atau menempati) dalam bahasa Inggris dengan safah
(jahil atau tidak berilmu) dalam bahasa Arab sehingga membentuk istilah filsafat.[2][2] Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami
bidang falsafah disebut "filsuf".
Secara terminologi pengertian filsafat memang sangat beragam,
baik dalam ungkapan maupun titik tekannya. Menurut Poedjawijatna, filsafat
adalah sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya
tentang segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka. Sementara Hasbullah
Bakry, mengatakan bahwa filsafat adalah sejenis pengetahuan yang menyelidiki
segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia.
Plato mendefinisikan filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran
asli (hakiki), dan kata Aristoteles
filsafat adalah peengetahuan yang meliputi kebenaran yang tergabung di
dalamnya metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik dan estetika.
Selanjutnya, menurut Immanuel Kant filsafat adalah pengetahuan yang menjadi
pokok pangkal segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya empat persoalan,
yaitu :
(a) apa yang dapat
diketahui, jawabannya adalah metafisika,
(b) apa yang seharusnya
diketahui, jawabannya adalah etika,
(c) sampai di mana harapan
kita, jawabannya adalah agama dan
Barangkali karena rumitnya mendefinisikan filsafat dan ternyata
hasilnya juga relatif sangat beragam, maka Muhammad Hatta tidak mau terlalu
gegabah memberikan definisi filsafat. Menurut dia sebaiknya filsafat tidak
diberikan defenisi terlebih dahulu, biarkan saja orang mempelajarinya secara
serius, nanti dia akan faham dengan sendirinya. Pendapat Hatta ini mendapat
dukungan dari Langeveld. Pendapat ini memang ada benarnya, sebab inti sari
filsafat sesungguhnya terdapat pada pembahasannya. Akan tetapi – khususnya bagi
pemula – sekedar untuk dijadikan patokan awal maka defenisi itu masih sangat
diperlukan.
2. Mengapa
Manusia Berfilsafat
Apabila seseorang bertanya tentang sesuatu, maka sebenarnya dia
sudah berfilsafat, karena bertanya berarti ingin tahu dan keingintahuan itu
merupakan esensi dari filsafat. Akan tetapi pertanyaan kefilsafatan yang
sesungguhnya adalah pertanyaan yang sangat mendalam dan serius. Pertanyaan
kefilsatan memerlukan jawaban yang hakiki, dan setelah mendapatkan jawaban,
apabila meragukan maka jawaban itu akan dipertanyakan kembali untuk mendapatkan
jawaban yang lebih mendalam (hakiki). Jadi filsafat adalah upaya pemikiran dan
penyelidikan secara mendalam atau radikal (sampai ke akar persoalan). Dengan
demikian pertanyaan filsuf tidaklah sembarangan. Oleh karena itu pertanyaan
seperti apa rasa gula tidak akan
melahirkan filsafat, sebab hal itu bisa dijawab dengan mudah oleh lidah atau berapa
tahun durian dapat berbuah juga tidak
melahirkan filsafat, karena dapat dijawab oleh sains dengan melalui riset
(penelitian).
Contoh pertanyaan kefilsafatan adalah seperti diutarakan oleh
Thales, “apakah bahan alam semesta ini?”. Pertanyaan ini tidak dapat
dijawab dengan sembarangan, karena yang dipertanyakan adalah masalah esensi
atau hakikat alam semesta. Jadi perlu pemikiran dan penyelidikan yang mendalam
(radikal).
Pancaindera
jelas tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut, sebab pancaindera hanya sekedar
menyaksikan benda alam yang ada secara lahiriyah.
ü Sains juga tidak sanggup menjawab, karena hanya menyelidiki secara
empiris benda yang ada.
ü Tetapi filsafat mampu mengungkapkan jawaban yang lumayan dapat memuaskan.
Seperti jawaban dari Thales sendiri bahwa bahan alam semesta adalah air, dengan
alasan bahwa air itu dapat berubah menjadi berbagai wujud. Jika air
dimasukkan ke dalam ember maka dia akan membentuk seperti ember,
dst. Selain itu air amat dibutuhkan dalam kehidupan, bahkan bumi ini menurutnya
terapung di atas air.
Pertanyaan tersebut pertamakali muncul pada zaman permulaan
(Yunani Kuno), yang dilatar belakangi oleh keta’juban (keheranan)
terhadap alam semesta. Ketakjuban ini menurut Jan Hendrik Rapar (2001 : 16)
menunjuk kepada dua hal penting, yaitu subyek dan obyek. Jika ada
ketakjuban pasti ada yang takjub (subyek) dan yang menakjubkan (obyek). Subyek
ketakjuban adalah manusia, sebab manusia satu-satunya makhluk yang memiliki
perasaan dan akal budi. Hal ini karena ketakjuban hanya dapat dirasakan dan
dialami oleh makhluk yang berperasaan dan berakal budi. Adapun obyek ketakjuban
adalah segala sesuatu yang ada, baik di alam nyata maupun di alam metafisik
(abstrak)
Selain ketakjuban, yang mendorong manusia berfilsafat adalah
karena adanya aporia (kesangsian, keraguan, ketidakpastian atau
kebingungan). Pertanyaan yang timbul akibat aporia ini menurut Ahmad Tafsir
muncul di zaman modern. Aporia ini berada di antara percaya dan tidak percaya.
Ketika manusia bersikap percaya atau mengambil tidak percaya, maka pikiran
tidak lagi bekerja atas hal itu, akan tetapi jika dia berada antara percaya dan
tidak percaya maka pikiran mulai bergerak dan berjalan untuk mencari kepastian.
Sangsi atau keraguan akan menimbulkan pertanyaan, pertanyaan membuat pikiran
bekerja, dan pikiran bekerja akan melahirkan filsafat. Jadi sikap keingintahuan
atau ingin kepastian terhadap sesuatu dapat melahirkan filsafat.
Ada juga yang mengatakan bahwa filsafat dilahirkan atas dasar
adanya ketidakpuasan. Sebelum filsafat lahir, berbagai mitos memainkan
peranan penting dalam kehidupan manusia. Mitos tersebut beupaya memberikan
penjelasan terhadap manusia tentang asal mula dan peristiwa-peristiwa yang
terjadi di alam semesta, akan tetapi penjelasan dan keterangan tersebut makin
lama semakin tidak memuaskan manusia. Mitos tersebut antara lain membawa ajaran
bahwa alam semesta beserta fenomena yang ada tidak mungkin dapat dipikirkan
secara ratio, akan tetapi harus diterima secara intuisi (perasaan dan
keimanan). Mereka ketika itu sangat meyakini ajaran agama (Dewa). Jawaban yang
diberikan oleh Thales (mendapat gelar bapak filsafat, karena dianggap orang
yang pertama kali berfilsafat) bahwa bahan baku alam semesta alam air, jelas
tidak diterima oleh dogmatis atau mitos ketika itu. Dalam hal ini Henri Bergson
(penganut intuitisme) mengatakan bahwa akal sangat terbatas. Akal hanya mampu
menjangkau atau memahami suatu obyek apabila mengkonsentrasi-kan kepada obyek
tersebut. Ketika itu maka manusia harus tunduk kepada intuisi.
3. Obyek Kajian Filsafat
Pada dasarnya setiap ilmu memiliki dua macam obyek, yaitu obyek
material dan obyek formal. Obyek material adalah segala sesuatu yang
dijadikan sasaran penyelidikan, baik sesuatu yang bersifat konkret seperti
kerbau, sapi, manusia, pohon, batu, tanah, air dan tanah maupun abstrak seperti
nilai-nilai, ide-ide, paham atau aliran dan sebagainya. Contoh, misalnya tubuh
manusia menjadi obyek material bagi ilmu kedokteran. Sedangkan obyek formal
adalah cara pandang tertentu tentang obyek material tersebut, misalnya
pendekatan empiris dan eksperimen dalam ilmu kedokteran.
Filsafat, sebagai sebuah proses berpikir yang sistematis dan
radikal juga memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material filsafat
adalah segala yang ada, baik yang nampak (dunia empiris) maupun yang tidak
nampak (abstrak, metafisika). Menurut sebagian filosof obyek material filsafat
itu menyangkut tiga hal, yaitu yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam fikiran
dan yang ada dalam kemungkinan.[4][4] Obyek material filsafat
pada umumnya sama dengan obyek penelitian sains, bedanya terletak pada
dua pokok, yaitu : Pertama sains menyelidiki obyek material yang
empiris, sedangkan filsafat lebih mengarah kepada yang abstraks. Kedua,
ada obyek material filsafat yang memang tidak dapat diteliti oleh sains,
seperti Tuhan, hari akhir (obyek materi yang selamanya tidak empiris). Jadi
obyek material filsafat lebih luas ketimbang obyek material sains.[5][5]
Adapun obyek formal filsafat adalah sifat penyeledikan yang
radikal, yakni keingintahuan tentang hakikat kebenaran sesuatu, dengan cara
melakukan penyelidikan secara mendalam sampai ke akar-akarnya. Dengan kata lain
bahwa obyek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal dan
obyektif tentang sesuatu yang ada untuk dapat mengetahui hakikat yang
sesungguhnya.
4. Metode
Kajian Filsafat
Metode berasal dari bahasa Yunani, methodeuo yang
diambil dari kata methodos, artinya mengikuti jejak, mengusut,
menyelidiki dan meneliti, akar katanya adalah meta (dengan) dan hodos
(jalan). Dalam hubungan dengan kegiatan yang bersifat ilmiah, metode berarti
cara kerja teratur dan sistematis yang digunakan untuk memahami suatu obyek
yang dipermasalahkan, yang merupakan sasaran dari bidang ilmu tertentu. Metode
tidak sekedar menyusun dan menghubungkan bagian-bagian pemikiran yang
terpisah-pisah, melainkan juga merupakan alat paling utama dalam proses dan
perkembangan ilmu pengetahuan sejak dari awal penelitian hingga mencapai
pemahaman baru dan kebenaran ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan.[6][6]
Metode kefilsafatan sangat
beraneka ragam, hampir sama dengan banyaknya jumlah ragam filsafat itu sendiri.
Ini berarti bahwa filsafat tidak mempunyai metode tunggal yang digunakan oleh
semua filsuf sejak zaman purba hingga sekarang. Dengan demikian sangat wajar
apabila secara umum setiap metode dalam filsafat melahirkan teori atau faham
tersendiri, seperti emperisme,
rasionalisme, relativisme, idealisme dan lain sebagainya. Sebagai contoh
misalnya, dalam Dictionary of Philosophy
yang dikutip oleh Dr. Anton Bakker disebutkan ada sepuluh metode filsafat
konkret, yaitu:
1) metode kritis : Socrates dan
Plato,
2) metode intuisi : Platinos dan Bergson,
3) metode skolastik : Aristoteles,
Thomas Aquinas dan filsafat abad pertengahan,
4) metode matematis : Descartes,
5) metode empiris : Hobbes, Locke, Barkeley dan Hume,
6) metode transendental : Imanuel
Kant, Neo-Skolastik,
7) metode dialektis : Hegel dan Karl Marx,
8) metode fenomenologis : Husserl dan
eksistensialisme,
9) metode neo-positivisme dan
10) metode analitika bahasa: Wittgenstein (Sudarsono,
2001: 86-87).
Dalam makalah sederhana ini
hanya akan dijelaskan secara singkat dua metode sebagai berikut
1.1.
Metode Dialektika (Kritis)
Metode dialektika (bahasa
Yunani dari kata kerja dialegesthai = bercakap-cakap atau dialog) atau
dikenal juga dengan metode kritis ini pertama kali dimunculkan oleh Socrates.
Metode ini bersifat analisis terhadap suatu istilah dan pendapat melalui
pertanyaan atau dialog kesana kemari untuk membanding-bandingkan, kamudian
ditemukan suatu kesimpulan yang hakiki. Dengan metode ini Socrates menemukan
logika induksi dan definisi. Logika induksi adalah pemikiran yang
bertolak dari pengetahuan khusus (contoh kongkret) lalu memberikan kesimpulan
yang umum.
Ketika Thales mengatakan bahwa dasar alam semesta adalah air,
kemudian Anaximenes mengatakan udara dan yang lain menyebutkan terdiri
dari empat unsur : tanah, air, udara dan api, lama kelamaan
akhirnya memunculkan berbagai hasil pemikiran yang membingungkan – terutama di
kalangan orang awam. Puncak kebingungan itu terlihat pada tokoh sofisme
terbesar bernama Protagoras melalui konsep atau rumus relativisme.
Menurut dia bahwa ukuran kebenaran adalah manusia dan kebenaran itu
bersifat relatif, tidak ada kebenaran yang mutlak (obyektif atau hakiki).
Ukuran kebenaran adalah menurut pandangan masing-masing manusia, “benar itu
menurutku dan menurutmu”. Pemikiran relativisme ini juga berpengruh pada
keyakinan agama orang Athena waktu itu, sehingga berkembanglah faham bahwa
tidak ada kebenaran yang pasti tentang pengetahuan, tentang etika atau moral,
metafisika, baik dan buruk, termasuk juga kebenaran agama, yang ada hanyalah
kebenaran yang relatif atau subyektifitas. Sebagai akibat selanjutnya adalah
bahwa mereka, terutama para pemuda, menjadi orang bingung yang tidak punya
pegangan : sendi-sendi agama telah digoyahkan sementara dasar-dasar
pengetahuanpun ikut terguncang. Cara berfikir seperti itu pada umumnya jatuh
kepada kaum sofis[7][7], yaitu kelompok orang yang
kurang terpelajar, baik di bidang sains maupun filsafat, namun mereka cukup
populer. Mereka adalah orang-orang yang menjual kebijakan untuk memperoleh
materi, mereka siap menolong para pencari keadilan asalkan mendapat bayaran.
Apabila seorang sofis datang ke Athena, ia disambut dengan hangat oleh
murid-murid atau pengikutnya untuk mendengarkan ceramahnya yang dianggap
sebagai sesuatu yang tidak mungkin salah bahkan dianggap sebagai wahyu. Mereka
sudah terlalu fanatik terhadap ajaran atau hasil pemikiran tentang relativisme
ini.
Dalam kondisi seperti itu, muncullah seorang filsuf baru
– yang juga orang Yunani – bernama Socrates yang hidup pada kira-kira tahun 470
– 399 SM. Dia termasuk orang yang taat beragama dan memahami dasar-dasar
pengetahuan. Dengan menggunakan metode dialektika, Socrates menemukan dan
membuktikan adanya kebenaran yang obyektif yang merupakan esensi di dalam
defenisi. Menurut dia kebenaran relatif memang ada dan perlu dipegang, akan
tetapi kebanaran yang obyektif juga ada dan harus diyakini. Dalam mencari
kebenaran, Socrates menggunakan metode tertentu yang bersifat praktis dan
dijalankan melalui percakapan-percakapan (dialog, dialektika), misalnya dia
bertanya tentang arete (keutamaan) kepada tukang besi, negarawan,
filsuf, pedagang dan lain sebagainya. Tentu saja mereka memberikan jawaban yang
berbeda tentang ciri keutamaan itu, namun juga ada ciri yang mereka sepakati.
Ciri yang disepakati itulah definisi atau kebenaran obyektif, sedangkan ciri
yang tidak disepakati adalah kebenaran suyektif.
Sebagai contoh misalnya, orang bertanya “apakah kursi itu
?”. Untuk menjawabnya terlebih dahulu harus mengumpulkan semua kursi yang ada.
Pertama kita menemukan kursi hakim dengan ciri ada tempat duduk dan ada
sandaran, kakinya empat dan terbuat dari kayu jati. Selanjutnya kita menemukan
kursi malas dengan ciri ada tempat duduk dan sandaran, kakinya dua dan terbuat
dari besi antikarat, kemudian kita periksa lagi kursi makan yang memiliki ciri
ada tempat duduk dan sandaran, kakinya tiga dan terbuat dari rotan, begitu
seterusnya. Dari hasil pengamatan atau penyelidikan tersebut kita mendapatkan
ciri-ciri umum dari kursi itu sendiri, yaitu bahwa setiap kursi memiliki tempat
duduk dan sandaran, sedangkan ciri lain tidak terdapat pada semua kursi. Dengan
ciri umum tersebut orang akan sepakat bahwa kursi adalah tempat duduk yang
memiliki sandaran. Nah, inilah kebenaran yang obyektif. Tentang jumlah kaki,
bahan kursi dan lainnya merupakan ciri khusus dari kursi tertentu yang
merupakan kebenaran subyektif atau relatif. Dari ciri umum ini orang akan
sepakat dan mengerti tentang apa itu kursi, sehingga ketika kita memesan kursi
kepada tukang kursi cukup menyebutkan ciri-ciri yang khusus saja, misalnya
kursi dengan kaki empat yang terbuat dari kayu jati, sedangkan sandaran dan
tempat duduknya tidak perlu disebutkan.
Demikian pendapat Socrates bahwa kebenaran itu ada yang
relatif (subyektif) dan ada pula yang obyektif (mutlak). Teori atau ajaran
Socrates ini diperkuat dan dikembangkan oleh salah sorang teman yang sekaligus
muridnya bernama Plato. Hanya saja menurut Plato kebenaran umum (definisi,
obyektif) itu bukan dibuat dengan cara dialog yang induktif sebagaimana
dihasilkan oleh Socrates. Menurut Plato bahwa kebenaran obyektif itu sudah ada
di alam ide.
1.2.
Metode
Intuisi
Metode intuisi (suara hati atau keimanan atau tenaga
rohani yang berbeda dengan akal) ini pertama kali dilontarkan oleh Plotinus.
Dengan metode ini plotinus melahirkan teori emanasi,[8][8] yang juga bepengaruh pada
filsafat Islam. Emanasi merupakan sebuah teori yang cukup berani, karena para
filsuf sebelumnya tidak mampu dan takut untuk melontarkan teori ini. Kosmologi
Palotinus memang cukup tinggi terutama dalam hal spekulasi dan imajinasinya,
semenatara itu pandangan mistis merupakan ciri filsafatnya. Tujuan filsafat
Plotinus adalah tercapainya kebersatuan dengan Tuhan yang ditempuh melalui cara
: pertama-tama mengenal alam lewat indera yang kemudian bisa ke tingkat
mengenal Tuhan, lalu menuju jiwa dunia dan terakhir baru menuju jiwa illahi.
Jawaban Thales bahwa bahan alam semesta adalah air –
termasuk jawaban lain yang katanya berasal dari udara, tanah dan api – dianggap
belum memuaskan manusia, karena pertanyaan lebih berbobot daripada jawabannya.
Pada kira-kira 800 tahun kemudina, muncullah Ptlotinus menyusun jawaban yang
lumayan, yaitu yang dikenal dengan teori emanasi. Menurut Plaotinus alam
semesta ini tercipta dari pancaran dan berasal dari Tuhan. Tuhan dalam
pandangannya tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung arti banyak. Yang banyak
(makhluk) ini mengalir lewat proses emanasi, yakni hanya satu yang bisa keluar
dari yang satu (The One). Plotinus kemudian menegaskan bahwa hanya ada
Satu yang wajib ada, sederhana dan absolut.
The One atau Yang Esa tersebut menurut Plotinus adalah
seuatu realitas yang tidak mungkin dpat dipahami melalui metode sains dan
logika, karena ia berada di luar eksistensi dan di luar segala nilai, sehingga
apabila seseorang mencoba untuk mendefinisikanya niscaya akan gagal. The One
atau Yang Esa merupakan puncak segala yang ada, cahaya di atas cahaya yang
tidak mungkin diketahui esensinya, sekalipun oleh orang yang merasa memiliki
pengetahuan ketuhanan cukup tinggi. Seseorang hanya dapat mengetahui bahwa Ia
adalah pokok atau prinsip yang berada di belakang akal dan jiwa. Dia tidak
dapat dideteksi melalui penginderaan dan tidak dapat dipahami lewat pemikiran
logis, tapi hanya dapat dihayati melalui intuisi (hati nurani atau keimanan).
Dari teori emansi itu, Plotinus juga melontarkan ajaran tentang reinkarnasi
yaitu keyakinan akan penyatuan kembali jiwa manusia dengan Tuhan (The One).
Reinkarnasi ini ditentukan oleh perilaku dan tindakan manusia selama hidup di
dunia. Jiwa yang bersih tidak ada lagi kaitannya dengan dunia, dia akan kembali
menyatu dengan Tuhan. Sedangkan jiwa yang kotor harus hidup kembali ke dalam
kehidupan yang lebih rendah seperti kepada orang jahat, hewan atau tumbuhan,
sesuai dengan tindakan kejahatan jiwa itu sendiri.
5. Karakteristik
atau Sifat Dasar Filsafat
5.1. Berfikir
Radikal
Berfilsafat berarti berfikir secara radikal. Para filosuf
adalah para pemikir radikal, sehingga mereka tidak akan pernah terpaku hanya
kepada fenomena suatu identitas atau realitas tertentu saja. Keradikalan
berfikir mereka akan senantiasa mengobarkan hasratnya untuk menemukan akar
seluruh kenyataan. Radik atau akar sebuah realitas memang selalu dianggap
penting oleh mereka karena menemukan akar atau radik tersebut membuat mereka
paham akan sebuah realitas tersebut. Berpikir radikal akan memperjelas realitas
lewat penemuan dan pemahaman akan realitas itu sendiri. Kegiatan berfikir untuk
menemukan hakikat atau akar seluruh sesuatu itu dilakukan secara mendalam
(radikal). Lois O. Kattsoff (1996 : 6) mengatakan bahwa kegiatan kefilsafatan
ialah merenung, tetapi bukanlah melamun dan bukan pula berfikir secara
kebetulan yang bersifat untung-untungan, melainkan dilakukan secara mendalam,
radikal, sistematis dan universal
5.2. Mencari asas
Dalam memandang seluruh realitas, filsafat senantiasa
berupaya mencari asas (dasar) yang peling hakiki dari keseluruhan realitas
tersebut. Para filsuf Yunani, yang terkenal dengan filsuf alam menagamati
keanekaragaman realitas di alam semesta ini, lalu bertanya “apakah di balik
realitas alam yang beraneka ragam ini ada suatu asas atau dasar ?”. Mereka
mulai mencari jawaban yang hakiki tentang itu semua. Thales menemukan asas alam
semesta ini adalah air, Aneximenes menemukan bahwa asasnya adalah udara, dan
Empedokles mengatakan ada empat unsur yang membentuk realitas alam ini, yaitu
api, udara, tanah dan air.
5.3.
Memburu Kebenaran
Berfilsafat berarti memburu
kebenaran hakiki tentang sesuatu. Filsuf adalah pemburu kebenaran. Kebenaran
yang diburunya adalah kebenaran hakiki dan tidak meragukan. Untuk memperoleh
kebenaran yang sungguh-sungguh atau hakiki dan dapat dipertanggung jawabkan,
maka setiap kebenaran yang telah diraih harus senantiasa terbuka. Kebenaran
tentang sesuatu yang sudah ditemukan oleh seorang filsuf akan selalu diteliti
ulang oleh yang lain demi mencari kebenaran yang lebi hakiki dan dapat
dipertanggungjawabkan.
B. CABANG ATAU PEMBAGIAN FILSAFAT
Pada tahap awal kelahiran filsafat sesungguhnya mencakup
seluruh ilmu pengetahuan, kamudian berkembang sedemikian rupa menjadi semakin
rasional dan sistematis. Seiring dengan perkembangan itu, wilayah pengetahuan
manusia semakin luas dan bertambah banyak, tetapi juga semakin mengkhusus atau
spesifik. Lalu lahirlah berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang satu persatu
mulai memisahkan diri dari filsafat. Namun kendati pun demikian, tidak berarti
filsafat telah menjadi begitu miskin sehingga tinggal terarah hanya kepada satu
permasalahan pokok, dengan wilayah pengetahuan yang semakin sempit dan pada
suatu saat akan lenyap sama sekali. Kenyataannya, masalah-masalah pokok yang
dihadapi filsafat tak pernah berkurang. Karena banyaknya masalah pokok yang
harus dibahas dan dipecahkan, filsafat pun dibagi ke dalam bidang-bidang studi
atau beberapa cabang. (Jan Hendrik Rapar, 2001 : 34)
Aristoteles membagi filsafat kepada tiga bidang studi, yaitu :
1) Filsafat spekulatif atau teoretis, yakni suatu cabang filsafat
yang bersifat obyektif. Termasuk di dalamnya adalah fisika metafisika,
biopsikologi dan sebagainya. Tujuan utama filsafat ini adalah pengetahuan demi
pengetahuan itu sendiri.
2) Filsafat Praktis, yakni
filsafat yang memberi petunjuk dan pedoman bagi tingkah laku manusia yang baik
dan sebagaimana mestinya, termasuk di dalamnya adalah etika dan politik.
Sasaran terpenting bagi filsafat praktis ini adalah membentuk sikap dan
perilaku yang akan memampukan manusia untuk bertindak dalam terang pengetahuan
itu
3) Filsafat Produktif, yaitu
pengetahuan atau filsafat yang membimbing dan menuntun manusia menjadi
produktif lewat suatu keterampilan khusus, termasuk di dalamnya adalah kritik
sastra, retorika dan estetika. Adapun sasaran utama yang hendak dicapai lewat
filsafat ini adalah agar manusia sanggup menghasilkan sesuatu, baik secara
teknis maupun secara puitis dalam terang pengetahuan yang benar.
Sementara Will Durant membagi
studi filsafat kepada 5 cabang, yaitu :
1) Logika, yakni studi tentang metode
berfikir dan metode penelitian ideal, yang terdiri dari observasi, introspeksi,
deduksi dn induksi, hipotesis dan eksperimen serta analisis dan sintesis.
2) Estetika atau disebut juga filsafat
seni (philosophy of art), yakni
filsafat yang membahas tentang bentuk ideal dan keindahan.
3) Etika, yaitu filsafat tentang
studi perilaku ideal.
4) Politika, yaitu studi tentang
organisasi sosial yang ideal, yakni tentang monarki, aristokrasi, demokrasi
sosialisme, anarkisme dan sebagainya.
5) Metafisika. Metafisika ini terdiri dari
ontologi, filsafat psikologi dan epitemologi.
Para penulis ENSIE (Earste
Nederlandse Systematich Ingerichete Ensyclopaedie) membagi filsafat kepada
sepuluh cabang, yaitu : metafisika, logika, epistemologi, filsafat ilmu,
filsafat naturalis, filsafat kultural, filsafat sejarah, estetika, etika dan
filsafat manusia. Sedangkan The World
University Ensyclopedia membagi filsafat kepada: filsafat sejarah,
metafisika, epistemologi, logika, etika dan estetika. Sementara Christian Wolff
(1679-1754) membaginya kepada cabang-cabang : logika, ontologi, kosmologi,
psikologi, teologi naturalis dan etika.
Masih banyak lagi pembagian filsafat yang dikemukakan oleh para
filsuf, namun pada umumnya sekarang dibagi kepada enam cabang utama, yaitu : epistemologi, metafisika (meliputi
ontologi, kosmologi, teologi metafisik dan antropologi), logika, etika, estetika dan filsafat
tentang berbagai disiplin ilmu.
1. Epistemologi
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang bersangkut paut
dengan teori pengetahuan. Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani yang
terdiri dari dua kata, yaitu episteme
bisa diartikan sebagai pengetahuan atau kebenaran dan logos = kata, pikiran, teori atau ilmu. Dengan demikian
epistemologi berarti teori atau filsafat tentang pengetahuan. Istilah ini dalam
bahasa Inggris dikenal dengan sebutan “theory
of knowledge” (teori pengetahaun). Epistemologi adalah bidang studi
filsafat yang mempersoalkan hal-ihwal pengetahuan yang meliputi antara lain
bagaimana memperoleh pengetahuan, sifat hakikat pengetahuan dan kebenaran
pengetahuan. Dari persoalan-persoalan yang dikemukakan oleh epistemologi itu
terkandung nilai, yaitu berupa jalan atau metode penyelidikan ke arah
tercapainya pengetahuan yang benar[9][9]. Dengan kata lain bahwa
secara umum, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai
hakikat ilmu. Ilmu sebagai proses adalah usaha pemikiran yang sistematik dan
metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek. Dalam
rumusan yang lebih rinci disebutkan bahwa epistemologi merupakan salah satu
cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikal tentang asal mula
pengetahuan, struktur, metode dan validasi pengetahuan. Jadi, pernyataan
mengenai apakah obyek kajian ilmu itu dan seberapa jauh tingkat kebenaran yang
bisa dicapainya serta kebenaran obyektif, subyektif absolut dan relatif
merupakan lingkup dan medan kajian epistemologi.
Secara tradisional, yang menjadi pokok persoalan epistemologi
adalah : sumber, asal mula dan sifat dasar pengetahuan; bidang, batas dan
jangkauan pengetahuan; serta validasi dan rehabilitas dari berbagai klaim
terhadap pengetahuan. Oleh sebab itu, rangkaian pertanyaan yang biasa diajukan
untuk mendalami permasalahan yang dipersoalkan di dalam epistemologi adalah :
apakah pengetahuan itu?, apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan?,
apakah pengetahuan itu berasal dari pengamatan, pengalaman atau akal budi?, dan
apakah pengetahuan itu kebenaran yang pasti atau hanya merupakan dugaan?
1.1. Tentang Pengetahaun
Jika dikatakan seseorang mengetahui sesuatu, berarti dia telah
memiliki pengetahuan tentang sesuatu
itu. Dengan demikian pengatahuan adalah suatu kata yang digunakan untuk
menunjuk kepada apa yang diketahui oleh seseorang. Pengetahuan senantiasa
memiliki subyek, yakni yang
mengetahui dan obyek, yakni sesuatu
yang diketahui. Dan pengetahuan juga bertautan erat dengan kebenaran, karena
demi mencapai kebenaranlah maka pengetahuan itu eksis. Kebenaran adalah
kesesuaian antara pengetahuan dengan obyeknya. Ketidaksesuaian pengetahuan
dengan obyeknya disebut kekeliruan. Suatu obyek yang ingin diketahui senantiasa
memiliki begitu banyak aspek yang amat sulit diungkapkan secara serentak.
Kenyataannya, manusia hanya mengetahui beberapa aspek dari suatu obyek itu,
sedangkan yang lainnya tetap tersembunyi baginya. Dengan demikian jelas bahwa
amat sulit untuk mencpai kebenaran yang lengkap dari obyek tertentu, apalagi
mencapai seluruh kebenaran dari segala sesuatu yang dapat dijadikan obyek
pengetahuan.
Menurut Jan Hendrik Rapar (1996:38) bahwa pengetahuan itu dapat
dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu : 1)
Pengetahuan biasa (ordinary knowledge).
Ini terdiri dari “nir-ilmiah” dan “pra-ilmiah”. Pengetahuan nir-ilmiah adalah
hasil penyerapan dengan indera terhadap obyek tertentu yang dijumpai dalam
kehidupan sehari-hari dan termasuk pula pengetahuan intuituf. Pengetahuan
pra-ilmiah merupakan hasil penyerapan inderawi dan pengetahuan yang merupakan
hasil pemikiran rasional yang tersedia untuk diuji lebih lanjut kebenarannya
dengan menggunakan metode-metode ilmiah. 2)
pengetahuan ilmiah (scientific
knowledge), pengetahuan yang diperoleh lewat penggunaan metode-metode ilmiah
yang lebih menjamin kepastian kebenaran yang dicapai. Inilah pengetahuan yang
sering disebut sains (science). 3. pengetahuan filsafat (philosophical knowledge), yang diperoleh
lewat pemikiran rasional yang didasarkan pada pemahaman, penafsiran, spekulasi,
penilaian kritis serta pemikiran-pemikiran yang logis, analitis dan sistematis.
Pengetahuan filsafat ini berkaitan dengan hakikat, prinsip dan asas seluruh
realitas yang dipersoalkan selaku obyek yang hendak dicapai atau diketahui.
1.2. Perbedaan Pengetahaun dengan Ilmu
Dari seperangkat pengertian
yang ada, pengetahaun dengan ilmu sering dikacaubalaukan. Keduanya sering
dianggap mempunyai persamaan makna, bahkan telah dirangkum menjadi sebuah kata
majemuk yang mengandung arti tersendiri. Padahal apabila kedua kata itu berdiri
sendiri, maka perbedaannya akan nampak dengan jelas. Kata pengetahuan diambil dari bahasa Inggris knowledge, sedangkan ilmu
berasal dari bahasa Arab ilm (عـلـم)
atau kata Inggis science. Makna
semacam ini nampak lebih baik daripada mencampuradukkan dua kata tersebut.
Dengan memisahkan kedua kata ini, maka akan diperoleh pengertian dan
perbedaannya masing-masing.
Pengetahaun dapat diartikan
sebagai hasil tahu manusia terhadap sesuatu atau segala perbuatan manusia untuk
memahami suatu obyek yang dihadapi atau obyek tertentu. Pengetahuan dapat
berwujud benda-benda fisik, pemahamannya dilakukan dengan cara persepsi baik
lewat indera maupun lewat akal. Dapat pula obyek yang dipahami itu berbentuk
ideal atau yang bersangkutan dengan masalah kejiwaan yang cara memahaminya
dengan komprehensi, bahkan dapat berwujud subsistensi yang dipahami lewat
persepsi. Apabila obyeknya berupa nilai (value), pemahamannya lewat persepsi
pula. Franz Rosenthal mengemukakan bahwa ada lebih dari seratus definis
pengetahaun, antara lain : (a) pengetahaun yang menyangkut proses mengetahui,
(b) pengetahuan yang menyangkut tentang pengamatan, (c) pengetahaun yang
menyangkut proses yang diperoleh melalui persepsi mental dan (d) pengetahuan
yang menyangkut kepercayaan.[10][10]
Pengertian ilmu sebagaimana
dikemukakan oleh The Liang Gie adalah suatu bentuk aktivitas manusia yang
dengan melakukannya manusia memperoleh suatu pengetahuan dan pemahaman yang
senantiasa lebih lengkap dan cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian
hari, serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya pada dan
mengubah lingkungan serta mengubah sifat-sifatnya sendiri. Sementara Charles
Singer mengatakan “Ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan”. Jujun S.
Suriasumantri dalam bukunya Ilmu Dalam
Perspektif menulis “ilmu lebih bersifat merupakan kegiatan daripada sekedar
produk yang siap dikonsumsikan”.
Perbedaan antara ilmu dan
pengetahuan dapat ditelusuri dengan melihat perbedaan ciri-cirinya. Menurut
Herbert L. Searles ciri-ciri tersebut sebagai berikut : “Kalau ilmu berbeda
dengan filsafat berdasarkan ciri empiris, maka ilmu berbeda dari pengetahuan
biasa karena ciri sistematisnya”. Mohammad Hatta (mantan Wakil Presiden RI
pertama) membedakan ilmu dengan pengetahuan sebagai berikut : “Pengetahuan yang
didapat dari pengalaman disebut pengetahuan
pengalaman, atau ringkasnya pengetahuan.
Pengetahuan yang didapat dengan jalan keterangan disebut ilmu. Bahwasanya pengetahuan saja bukanlah ilmu, dapat kita
persaksikan pada binatang yang juga mempunyai pengetahuan, misalnya anjing.
Dari gerak tangan tuannya atau dari keras atau lembutnya suara tuannya itu, ia
tahu apa yang dimaksud tuannya terhadap dia. Tiap-tiap ilmu mesti bersendi
kepada pengetahuan. Pengetahuan adalah tangga yang pertama bagi ilmu untuk
mencari keterangan lebih lanjut”.
Jadi pada dasarnya perbedaan
antara ilmu dengan pengetahuan adalah terletak pada sifat sistematik dan cara
memperolehnya. Perbedaan tersebut menyangkut pengetahuan yang pra-ilmiah atau
pengetahuan biasa, sedangkan pengetahuan ilmiah dengan ilmu tidak mempunyai
perbedaan yang berarti. Dalam perkembangan selanjutnya di Indonesia,
pengetahuan disamakan artinya dengan ilmu, karena kata ilmu yang berasal dari
bahasa Arab berarti pengetahuan. Nawawi Dusky menulis dalam Buletin Dakwah : “ilmu yang berasal dari
bahasa Arab ini artinya adalah pengetahaun”. Dengan demikian bahwa secara
bahasa pengetahuan dengan ilmu bersinomin arti, sedangkan dalam arti material
keduanya mempunyai perbedaan. Sementara itu menurut disiplinya, ilmu
pengetahuan dapat digolongakan menjadi tiga, yaitu : ilmu deduktif (ilmu-ilmu formal), ilmu induktif (ilmu-ilmu empiris) dan ilmu reduktif (sejarah dan lain-lain) [11][11]
1.3. Sumber Pengetahuan
Proses terjadinya pengetahuan menjadi masalah mendasar dalam
epistemologi, sebab hal ini akan mewarnai pemikiran kefilsafatan. Pandangan
yang sederhana dalam memikirkan proses terjadinya pengetahuan, yaitu dalam
sifatnya baik yang apriori maupun aporteriori. Pengetahuan apriori adalah
pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik pengalaman
indera maupun pengalaman bathin. Sedangkan pengetahuan aporteriori adalah
pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman. Dalam mengetahui sesuatu
diperlukan alat-alat, seperti pengalaman indera (sense experience), nalar (reason),
otoritas (othority), intuisi (intuition), wahyu (revelation) dan keyakinan (faith).
[12][12]
Apakah sebenarnya yang menjadi sumber pengetahuan ?. Dalam hal
ini para filsuf memberi jawaban yang berbeda. Plato, Descartes, Baruch Spinoza
dan Leibniz mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah akal budi (ratio),
bahkan ada yang secara ekstrim mengemukakan bahwa akal budi adalah satu-satunya
sumber dari pengetahuan. Para filsuf yang mendewakan akal budi itu berpendapat
bahwa setiap keyakinan atau pandangan yang bertentangan dengan akal budi tidak
mungkin benar. Bagi mereka pikiran memiliki fungsi sangat penting dalam proses
mengetahui.
Pengetahuan didapat dari pengamatan. Dalam pengamatan inderawi
tidak dapat ditetapkan apa yang subyektif dan apa yang obyektif. Jika
kesan-kesan subyektif dianggap sebagai kebenaran maka hal itu mengakibatkan
adanya gambaran-gambaran yang kacau di dalam imajinasi. Segala pengetahuan
dimulai dengan gambaran-gambaran inderawi, kemudian ditingkatkan hingga sampai
kepada yang lebih tinggi, yaitu pengetahuan rasional dan pengetahuan intuitif.
Dalam pengetahun rasional orang hanya mengambil kesimpulan-kesimpulan, sedang
dalam intuisi orang memandang kepada ide-ide yang berkaitan dengan Tuhan.
Demikian pendapat Baruch Spinoza. Hal ini berbeda dengan pendapat Thomas Hobbes
(1588-1679), salah seorang tokoh emperisme, yang mengatakan bahwa pengetahuan
diperoleh karena pengalaman. Menurutnya pengalaman adalah awal segala
pengetahuan, segala ilmu pengetahuan diturunkan dari pengalaman dan hanya
pengalamanlah yang memberi jaminan akan kepastian. Yang disebut pengalaman
adalah keseluruhan atau totalitas segala pengamatan yang disimpan dalam ingatan
dan digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa
yang telah diamati pada masa lampau. Pengalaman inderawi terjadi karena gerak
benda-benda diluar kita menyebabkan adanya suatu gerak di dalam indera kita.
Gerak itu diteruskan kepada otak, dari otak dilanjutkan ke jantung. Di dalam
jantung timbul suatu reaksi, suatu gerak dalam jurusan yang sebaliknya.
Pengamatan yang sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi.
Beberapa filsuf yang lain seperti Bacon, Thomas Hobbes dan John
Locke mengatakan bahwa sumber pengetahaun adalah pengalaman inderawi, bukan
akal budi atau ratio. Pada dasarnya menurut mereka, pengetahuan bergantung pada
pancaindera manusia dan pengalaman-pengalaman inderanya, bukan pada rasio.
Mereka juga mengklaim bahwa seluruh ide dan konsep manusia sesungguhnya berasal
dari pengalaman. Tidak ada ide atau konsep yang di dalam dirinya sendiri
bersifat apriori, tetapi sesungguhnya
aposteriori.
John Locke, misalnya, mengatakan bahwa seluruh ide manusia
berasal secara langsung dari sensasi dan lewat refleksi terhdap ide-ide
sensitif itu sendiri. Tidak ada suatu apapun juga dalam akal budi manusia yang
tidak berasal dari pengalaman inderawi. Dengan kata lain bahwa segala
pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Akal (ratio) menurutnya bersifat pasif pada
waktu pengetahuan didapatkan. Akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya
sendiri. Semua akal serupa dengan secarik kertas yang tanpa tulisan, yang
menerima segala sesuatu yang datang dari pengalaman. Dia tidak membedakan
antara pengetahuan inderawi dan pengetahuan akali, satu-satunya sasaran obyek
pengetahuan adalah gagasan atau ide-ide, yang timbulnya karena pengalaman
lahiriyah (sensation) dan bathiniyah
(reflection).
1.4. Adakah Pengetahuan yang Benar dan
Pasti
Louis O. Kattsoff dalam teori korespondensinya menyatakan
bentuk kebenaran sebagai berikut “bahwa sutu pendapat itu benar jika arti yang
dikandungnya sungguh-sungguh merupakan halnya, dinamakan teori koresponden.
Kebenaran atau keadaan dasar itu berupa kesesuaian (koresponden) antara arti
yang dimaksudkan oleh suatu pendapat dengan apa yang sungguh-sungguh halnya
atau apa yang merupakan fakta-faktanya”. Teori kebenaran yang lain dikemukakan
oleh Harold H. Titus sebagaimana dikutip oleh H. Endang Saifuddin Anshari
sebagai berikut : “Kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan fakta atau
sesuatu yang selaras dengan situasi aktual. Kebenaran ialah kesesuaian (agreement) antara pernyataan (statement) mengenai fakta dengan fakta
aktual; atau antara putusan (judgement)
dengan situasi seputar yang diberikan interpretasi”.
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kebenaran dalam pengetahaun adalah kesesuaian antara subyek
yang mengetahui dengan obyek yang diketahuinya. Contoh : Amir dibangunkan oleh
Ali sambil berteriak bahwa ada kebakaran, Amir pun segera bangun dan percaya
bahwa ada kebakaran. Ini dikatakan benar jika betul terjadi kebakaran, tapi
dikatakan salah jika (kenyataannya) tidak terjadi kebakaran (Miska Muhammad
Amien, 1983 : 7-8)
Para penganut skeptisisme pada umumnya sependapat bahwa segala
sesuatu, termasuk yang sudah pasti, dapat saja disangsikan kebenarannya. Untuk
membenarkan diri, secara ekstrim mereka berpegang pada ungkapan Socrates yang
mengatakan “apa yang saya ketahui adalah
bahwa saya tidak mengetahui apa-apa”. Dengan demikian, mereka hendak
menegaskan bahwa sesungguhnya tidak ada pengetahuan yang pasti dan mutlak.
Pyrrho (365-275 SM), yang dikenal sebagai pencipta skeptisisme sistematis
pertama, mengatakan bahwa kita harus senantiasa menyangsikan segala sesuatu
yang dianggap benar karena sesungguhnya tidak ada yang benar-benar dapat
diketahui dengan pasti. Ada banyak pandangan yang sering kali saling
bertentangan, tetapi tidak pernah dapat ditentukan yang mana benar dan yang mana
salah karena tidak ada kriteria yang dapat digunakan untuk itu (Jan Hendrik
Rapar, 1996 : 40-42).
John Wilkins (1614-1672) dan Joseph Glanvill (1626-1680)
membedakan antara pengetahuan tertentu yang sempurna dan pengetahuan tertentu
yang sudah pasti. Mereka berpendapat bahwa tidak seorang pun manusia dapat
meraih pengetahuan yang sempurna karena kemampuan manusia telah cacat dan
rusak. Adapun pengetahuan tertentu yang telah pasti, misalnya matahari terbit
dari timur setiap hari, api menghanguskan, terkena air basah dan sebagainya
merupakan pengetahuan yang pasti dan tidak perlu diragukan lagi.
David Hume (1711-1776) menyerang dasar-dasar pengetahuan
empiris. Menurutnya tidak ada suatu generalisasi pengalaman yang dapat
dibenarkan secara rasional. Demikian pula proposisi mengenai pengalaman tidak
perlu, karena seseorang dengan mudah akan dapat membayangkan suatu dunia di
mana proposisi itu keliru. Sebagai contoh, “matahari akan terbit besok pagi”
adalah sebuah generalisasi dari pengalaman atau realitas. Akan tetapi hal itu
sebenarnya tidak perlu karena kita dapat membayangkan suatu dunia yang mirip
dunia kita yang mataharinya tidak terbit besok pagi. Baginya generalisasi
induktif sama sekali bukan suatu proses berfikir, tetapi sekedar mengharap
bahwa hal yang sama akan berulang kembali dalam kondisi dan situasi yang sama.
Pandangan para filsuf yang menyangsikan segala sesuatu,
termasuk yang sudah dianggap pasti kebenaranya, sejak semula telah disanggah
oleh pemikir lainnya. Misalnya Augustinus (354-430) mengatakan bahwa ungkapan “manusia tidak dapat mengetahui apa-apa”
menunjukkan bahwa hal itu sebenarnya sudah merupakan pengetahuan. Oleh sebab
itu, bagi Augustinus, pendapat filsuf yang demikian, secara rasional tidak
konsisten, ungkapan tersebut adalah keliru dan salah, berarti tidak ada
masalah. Jika memang benar, berarti ungkapan itu mengandung pertentangan dalam
dirinya sendiri, karena bagaimanapun juga kita telah mengetahui dengan pasti tentang satu hal,
yakni kita tahu bahwa kita tidak dapat mengetahui apa-apa.
Sedangkan Thomas Reid (1710-1796) menyanggah presuposisi
sentral David Hume yang mengatakan bahwa kepercayaan kita yang sangat mendasar
haruslah dibenarkan oleh argument-argument rasional-filsafat. Thomas Reid
mengatakan bahwa bukti-bukti rasional-filsafat yang dikehendaki Hume itu
sesungguhnya tidak pantas dan tidak tepat. Menurutnya kepercayaan yang sangat
mendasar itu tidaklah dilandaskan pada pra anggapan yang membuta begitu saja,
melainkan justru mencerminkan konstitusi rasional kita yang sanggup pula
mengenal lewat intuisi.
2. Metafisika
Istilah metafisika juga berasal dari bahasa Yunani, yang
terdiri dari kata meta dan physika. Meta berarti sesudah, selain
atau sebaliknya dan physika berarti nyata atau alam. Jadi metafisika dapat
diartikan dibalik alam semesta atau selain yang nyata. Ditinjau dari segi
filsafat secara menyeluruh, metafika adalah ilmu yang memikirkan atau membahas
hakikat sesuatu di balik alam nyata. Metafisika biasanya dibagi kepada : metafisika umum atau ontologi dan metafisika khusus yang terdiri dari kosmologi, teologi metafisik
dan filsafat antroplogi (Jan Hendrik Rapar, 1996:44)
2.1. Metafisika Umum atau Ontologi
Metafisika umum atau
ontologi ini membahas segala sesuatu yang ada secara menyeluruh dan sekaligus.
Pembahasan itu dilakukan dengan membedakan dan memisahkan eksistensi yang
sesungguhnya dari penampakkan atau penampilan eksistensi itu. Pertanyaan-pertanyaan
ontologis yang utama dan sering diajukan adalah “apakah realitas atau ada yang
begitu beraneka ragam dan berbeda-beda itu pada hakikatnya satu atau tidak ?”,
kalau memang satu, “apakah gerangan yang satu itu ?” dan “apakah eksistensi yang
sesungguhnya dari segala sesuatu yang ada itu merupakan realitas yang nampak
atau tidak ?”. Dalam hal ini ada tiga
teori ontologi yang terkenal, yaitu :
a). Idealisme. Teori ini mengajarkan bahwa eksistensi atau ada yang sesungguhnya
berada di dunia ide. Segala sesuatu yang nampak dan mewujud dalam alam inderawi
hanya merupakan gambaran atau bayangan dari yang sesungguhnya yang berada di
alam ide. Dengan kata lain bahwa realitas yang sesungguhnya bukanlah yang
kelihatan, melainkan yang tidak nampak. Tokoh idealisme subyektif, George
Berkeley (1685-1753) mengatakan bahwa satu-satunya realitas yang sesungguhnya
adalah aku subyektif yang spritual. Baginya tidak ada substansi material dan
sebagainya, seperti kursi dan meja, karena semua itu hanya merupakan koleksi
ide yang ada dalam alam pikiran sejauh yang dapat diserap. G. Wilhelm Friedrich
Hegel (1770-1831) menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada adalah satu bentuk
dari satu pikiran.
b). Materialisme. Bagi materialisme ada atau esksitensi yang sesungguhnya adalah sesuatu
yang bersifat material. Artinya realitas yang sesungguhnya adalah kebendaan.
Karena itu seluruh realitas hanya mungkin dijelaskan secara materialistis.
Leukippos dan Demokritos mengatakan bahwa seluruh realitas bukan hanya satu,
tetapi terdiri dari banyak unsur, dan unsur-unsur itu tidak terbagi lagi atau
disebut atom (tidak dapat dibagi).
Atom itu merupakan bagian materi sangat kecil yang tidak berkualitas dan
senantiasa bergerak karena adanya ruang kosong. Jiwa manusia pun terdiri dari
atom-atom. Sementara Thomas Hobbes (1588-1679) berpendapat bahwa seluruh
realitas adalah materi yang tidak bergantung pada gagasan dan pikiran. Setiap
kejadian adalah gerak yang terjadi oleh keharusan, maka seluruh realitas yang
tidak lain dari materi itu senantiasa berada di dalam gerak. Sedangkan Ludwig
Andreas Feuerbach (1804-1872) mengemukakan bahwa materi haruslah menjadi titik
pangkal dari segala sesuatu. Baginya, alam materi adalah realitas yang sesungguhnya.
Adapun karena manusia adalah bagian dari alam material itu, maka manusia adalah
satu realitas yang konkret. Agama dan Tuhan, lanjut dia, hanyalah impian
manusia yang begitu egoistis demi meraih kebahagiaan bagi dirinya sendiri.
c). Dualime. Ini mengajarkan bahwa substansi individual terdiri dari dua tipe
fundamental yang berbeda dan tak dapat direksusikan kepada yang lainnya, yaitu material dan mental. Dengan demikian, dualisme mengakui bahwa realitas terdiri
dari materi (yang ada secara fisik dan mental (yang ada tidak kelihatan secara
fisik). Dualisme harus dibedakan dari monisme dan pluralisme. Monisme dan
pluralisme adalah teori tentang jumlah substansi dan bukan mempersoalkan tipe
fundamental dan substansi itu. Memang ada filsafat pluralistis yang bersifat
dualisme, misalnya Cartesianisme, tetapi ada pula yang tidak.
Ontologi adalah filsafat umum yang juga sering disebut metafisika umum. Ontologi dapat dipahami
sebagai “pohon” filsafat atau filsafat itu sendiri. Sebagai pohon filsafat, maka
ontologi atau metafisika umum ini mempersoalkan apa yang ada di balik “yang ada” (hakikat yang ada), yaitu
meliputi pertanyaan tantang hakikat Tuhan sebagai Sang Pencipta alam beserta
isinya.
Cakupan ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah ilmu tentang manusia
dan masyarakat, ilmu alam dan ilmu ketuhanan. Oleh karena itu, filsafat dan
ilmu pengetahuan mempunyai obyek yang sama yaitu sama-sama menyelidiki manusia,
alam dan Tuhan, hanya saja perbedaannya terletak pada kualitas sasaran yang
dituju. Kualitas sasaran filsafat bersifat metafisik (hakikat) secara utuh dan
menyeluruh, sedangkan kualitas ilmu pengetahuan hanya menyelidiki jenis,
bentuk, sifat dan susunan fisik menurut bagian-bagian tertentu secara terpisah.
Tokoh yang membuat istilah ontologi populer adalah Christian Wolff
(1679-1714). Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu ta onta berarti “yang ada” dan logi berarti “ilmu pengetahua atau
ajran”. Dengan demikian ontologi
adalah ilmu pengetahaun atau ajaran tentang yang ada. Dalam ontologi ini
terdapat beberapa aliran yang penting, yaitu antara lain : 1) dualisme, yang
memandang alam ini terdiri dari dua macam hakikat sebagai sumbernya, 2) monisme
(materialisme) yang memandang bahwa
sumber yang asal itu hanya tunggal, 3)
idealisme yang memandang segala sesuatu serba-cita atau serba roh, dan 4) aguosticisme yang mengingkari
kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat seperti yang dikehendaki oleh ilmu
metafisik. (Sudarsono, 2001 : 118)
2.2. Metafisika Khusus
2.2.1 Kosmologi
Kosmologi berasal dari
bahasa Yunani, terdiri dari kata kosmos
dan logos. Kosmos berarti dunia,
alam atau ketertiban (lawan dari chaos = kacau balau) dan logos berarti
kata atau ilmu. Jadi kosmologi berarti pembicaraan atau ilmu tentang alam
semesta dan ketertiban yang paling fundamental dari seluruh realitas. Kosmologi
memandang alam semesta sebagai suatu totalitas dari fenomena dan berupaya untuk
memadukan spekulasi metafisika dengan evidensi ilmiah di dalam suatu kerangka
yang koheran. Hal-hal yang biasa disoroti dan dipersoalkan adalah mengenai
ruang dan waktu, perubahan, kebutuhan, kemungkinan-kemungkinan dan keabadian.
Metode yang digunakan bersifat rasional dan justru hal itulah yang
membedakannya dari berbagai kisah asal mula struktur alam.
2.2.2 Teologi Metafisik
Teologi metafisik
mempersoalkan eksistensi Tuhan, yang dibahas secara terlepas dari keprcayaan
agama. Eksistensi Tuhan hendak dipahami secara rasional. Konsekwensinya, Tuhan
menjadi sistem filsafat yang perlu dianalisis dan dipecahkan lewat metode
ilmiah. Apabila Tuhan dilepaskan dari kepercayaan agama, maka hasil analisis
dan pembahasan yang diperoleh bisa berupa satu dari beberapa kemungkinan
sebagai berikut : (a). Tuhan tidak ada. (b). Tidak dapat dipastikan apakah
Tuhan ada atau tidak. (c). Tuhan ada tanpa dapat dibuktikan secara rasional.
(d). Tuhan ada, dengan bukti rasional
Para filsuf terkenal seperti
Anselmus, Descartes, Thomas Aquinas dan Immanuel Kant telah mebuktikan bahwa
Tuhan itu benar-benar ada. Bukti-bukti rasional yang diutarakan adalah :
·
Argumen Ontologis. Semua
manusia memiliki ide tentang Tuhan. Sementara itu, diketahui pula bahwa kenyataan atau realitas senantiasa lebih sempurna daripada ide. Dengan demikian,
Tuhan pasti ada dan realitas adaNya
pasti lebih sempurna daripada ide manusia tentang Tuhan.
·
Argumen Kosmologi. Setiap
akibat pasti ada sebab. Dunia (kosmos) adalah akibat, karena itu pasti memiliki
sebab di luar dirinya sendiri. Penyebab adanya dunia itulah Tuhan.
·
Argumen Teleologis. Segala
sesuatu ada tujuannya. Sebagai contoh, mata untuk melihat, telinga untuk
mendengar dan kaki untuk berjalan. Karena segala sesuatu memiliki tujuan, itu
berarti seluruh realitas tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan dijadikan
oleh yang mengatur tujuan itu. Pengatur tujuan itu adalah Tuhan.
·
Argumen Moral. Manusia
bermoral karena dapat membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang
salah, dan seterusnya. Itu menunjukkan bahwa ada dasar dan sumber moralitas.
Dasar dan sumber moralitas itu adalah Tuhan.
Skeptisisme secara umum
meragukan segala keyakinan yang telah digenggam selama ini. Menurut aliran ini
sesungguhnya tak dapat dipastikan apakah Tuhan itu benar-benar ada atau tidak
mungkin saja ada tapi mungkin juga tidak ada. Skepteisisme merupakan pintu yang
terbuka lebar ke arah ateisme (dalam arti teoritis), yaitu suatu paham yang
berupaya mempertanggungjawabkan secara falsafati keyakinan bahwa Tuhan tidak
ada. Karena itu, David Hume menegaskan bahwa tidak ada bukti yang benar-benar
shahih tentang adanya Tuhan dan bahwa Dia menyelenggarakan dunia ini. Hume
menolak eksistensi Tuhan dan kebenaran agama, bahkan menolak gagasan tentang
Tuhan serta menganggap bahwa moralitas semata-mata hanya perasaan manusia
belaka. Terhadap perasaan sendiri, akal sehat tidak memiliki wewenang untuk
mengendalikan atau mengawasinya.
Sigmund Freud (1856-1939) menyatakan bahwa Tuhan memiliki tiga fungsi
utama bagi kehidupan praktis manusia di dunia, yaitu :
·
Tuhan
dianggap penguasa alam. Oleh karena itu dengan menyembahNya, manusia akan dapat
mengatasi kecemasannya terhadap alam yang begitu dahsyat.
·
Keyakinan
agama memperdamaikan manusia dengan nasibnya yang mengerikan, terutama setelah
kematian
· Tuhan
memelihara dan menjaga agar ketentuan dan peraturan kultur akan
dilaksanakan.
Kehidupan moral merupakan
tempat bagi Tuhan untuk berperan. Segala perbuatan yang baik akan memperoleh
ganjaran dan segala perbuatan yang jahat akan dihukum. Hukuman itu akan
berlangsung nanti setelah kematian, karena di sanalah segala ganti rugi
terhadap kesusahan dan penderitaan akan diperoleh dan kejahatan akan dibalas
setimpal dengan perbuatn manusia. Freud kemudian menyimpulkan bahwa religi
adalah suatu ilusi yang berasal dari semacam infantilisme atau sifat
kekanak-kanakan. Dengan demikian, bagi Freud, Tuhan hanyalah ilusi.
2.2.3 Filsafat Antropologi
Filsafat antropologi adalah
bagian metafisika khusus yang mempersoalkan apakah manusia itu?, apakah hakikat
manusia? dan bagaimana hubungan dengan alam dan sesamanya?. Maka filsafat
antropologi bupaya menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut sebagaimana adanya,
baik menyangkut esensi, eksistensi, status maupun relasi-relasinya. Sebenarnya
sejak zaman purba manusia dipersoalkan secara falsafati (selengkapnya baca pada
pembahasan masalah manusia).
3. Logika
Logika adalah istilah yang
dibentuk dari bahasa Yunani logikos
yang berasal dari kata benda logos,
artinya sessuatu yang diutarakan, suatu
pertimbangan akal pikiran, kata, percakapan
dan bahasa. atau yang yang berkenaan dengan bahasa. Jadi secara
etimologi logika berarti suatu pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat
kata dan dinyatakan dalam bahasa. Dengan demikian bahwa logika adalah ilmu
pengetahuan dan kecakapan untuk berfikir lurus (tepat). Dari definis yang
diungkapkan oleh para ahli dapat disimpulkan bahwa logika adalah cabang
filsafat yang menyusun, mengembangkan, dan membahas asas-asas, aturan-aturan
formal dan prosedur-prosedur normatif serta kriteria yang sahih bagi penalaran
dan penyimpulan demi mencapai kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara
rasional
Logika merupakan suatu
percobaan untuk memberi jawaban terhadap pertanyaan : “apakah yang dimaksud
dengan pendapat yang benar ?, apakah yang membedakan antara argumentasi yang
benar denga yang keliru ? atau apakah yang dapat digunakan untuk meneliti
kekeliruan pendapat ? Memperhatikan pertanyaan-pertanyaan tersbut, Popkin dan
Stroll berkesimpulan bahwa logika merupakan salah satu cabang filsafat yang
tergolong penting sekali. Semua bagian atau cabang filsafat tidak dapat lepas
pada penggunaan pikiran atau cara berfikir, apakah pikiran itu benar atau
keliru akan tergantung pada penyesuaiannya dengan asa-asas logika. Di situlah
letak logika di perlukan sebagai dasar penggunaan pikiran.[13][13]
Logika itu terbagi kepada
beberapa macam, antara lain logika
naturalis, logika ilmiah, logika artificialis atau tradisional serta logika formal dan logika material. Logika naturalis (alamiah) adalah bahwa manusia
berfikir menurut kudrat atau fitrahnya scara alamiah. Umur logika itu sama
usianya dengan umur manusia, akrena sejak kelahirannya dia sudah dilengkapi
oelh Tuhan dengan akal / ratio, yang berarti sejak itu logika telah ada dalam
bentuknya yang sederhana, alamiah dan belum dikembangakan secara ilmiah.
Misalnya, manusia dapat berpikir secar praktis bahwa si A tidak sama dengan si
B, makan tidak sama dengan tidur dan lain sebagainya. Jadi kecakapan berfikir
logis manusia adalah anugrah dari Tuhan yang tidak dimiliki oleh makhluk
seperti hewan.
Sedangkan logika ilmiah
(scientific) adalah kelanjutan dari logika alamiah (natural), yaitu apabila
manusia diberikan bimbingan secara sistematis untuk dapat menguasai pola-pola
pikir secara teratur sesuai dengan hukum-hukum ketetapan atau kebenaran
berfikir. Adapun logika artificialis yang disebut juga logika tradisional
(logika Aristoteles), yang kelahirannya sebagai logika tradisi kuno sejak
Aristoteles berhasil membukukannya dalam ‘Organon’ sebagai buku logika pertama.
Menurut tradisi, Aristoteleslah yang berhasil merumuskan ilmu tentang kaidah
berfikir benar secara sistematis. Menurutnya, logika adalah sebagai organon
(alat dan instrumen) untuk berpikir benar dan menemukan kebenaran. Setelah
pengetahaun logika ini membudaya di kalangan umat manusia, maka logia
artifisialis ini dikembangkan secara ilmiah menjadi dua bagian, yaitu logika
formal dan logika material.
Logika formal (logic) atau logika minor, mempelajari
asas-asas, kaidah, aturan atau hukum berfikir yang harus ditaati, agar manusia
dapat berfikir dengan tepat dan benar serta mencapai kebenaran. Jadi bagaimana
seharusnya manusia berfikir dengan baik sesuai aturan tersebut. Sedangkan
logika material atau kritik (mayor), mempersoalkan isi atau materi pengetahuan
dan bagaimana caranya mempertanggungjawabkan isi pengetahuan itu. Dengan
demikain logika ini mempelajari tentang : sumber dan asal pengetahuan,
alat-alat pengetahuan, proses terjadinya pengetahuan, kemungkinan-kemungkinan
dan batas-batas penjelasan pengetahuan, metode ilmiah pengetahaun dan kebenaran
serta kekeliruan dan sebagainya. Logika material inilah sebagai wadah timbulnya
filsafat mengenal (kennisleer) dan
filsafat ilmu pengetahuan (wetenschapleer).[14][14]
4. Etika
Etika (dalam Islam dikenal
akhlaq) adalah ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia
sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Etika berasal dari bahasa
Yunani yang terdiri dari dua kata, ethos
dan ethikos. Ethos berarti sifat,
watak dan kebiasaan, sedangkan ethikos berarti susila, keadaban atau perbuatan
dan kelakuan yang baik. Adapun istilah moral berasal dari bahasa Latin, yaitu mores merupakan bentuk jamak dari mos, yang berarti adat istiadat atau
kebiasaan, watak, kelakuan, tabiat dan cara hidup. Mempelajari etika bertujuan
untuk mendapatkan konsep yang sama mengenai penilaian baik dan buruk bagi semua
manusia dalam ruang dan waktu tertentu. Etika biasanya disebut ilmu pengetahuan
normatif, sebab etika menetapkan ukuran bagi perbuatan manusia dengan
penggunaan norma tentang baik dan buruk.
Etika merupakan cabang
filsafat yang amat berpengaruh sejak zaman Socrates (470-399 SM). Etika
membahas baik dan buruk atau benar tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia
serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban manusia. Etika tidak
mempersoalkan apa atau siap manusia itu, tetapi bagaimana manusia seharusnya
berbuat dan bertindak.
4.1. Etika
Deskriptif
Etika deskriptif menguraikan
dan menujelaskan kesadaran dan pengamalan moral secara deskriptif. Ini
dilakukan dengan bertolak dari kenyataan bahwa ada fenomena moral yang dapat
digambarkan dan diuraikan secara ilmiah, seperti yang dapat dilakukan terhadap
fenomena spritual lainnya, misalnya religi dan seni. Oleh karena itu, etika
deskriptif digolongkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan empiris dan berhubungan
erat dengan sosiologi. Dalam hubungan dengan sosiologi, etika deskriptif
berupaya menemukan dan menjelaskan kesadaran, keyakinan dan pengalaman moral
dalam suatu kultur tertentu.
Etika deskriptif dapat
dibagi dua, yaitu pertama sejarah moral
yang meneliti cita-cita, aturan-aturan dan norma-norma moral yang pernah
diberlakukan dalam kehidupan manusia pada kurun waktu dan suatu tempat tertentu
atau dalam suatu lingkungan besar yang mencakup beberapa bangsa, kedua fenomenologi moral, yang berupaya
menemukan arti dan makna moralitas dari berbagai fenomena moral yang ada.
Fenomenologi moral tidak bermaksud menyediakan petunjuk-petunjuk atau patokan
moral yang perlu dipegang oleh manusia. Karena itu fenomenologi moral tidak
mempermasalahkan apa yang benar dan apa yang salah.
4.2. Etika
Normatif
Etika normatif disebut juga
filsafat moral atau etika filsafat. Etika normatif dapat dibagi ke dalam dua
teori, yaitu teori nilai dan teori keharusan. Teori nilai mempersoalkan sifat
kebaikan, sedangkan teori keharusan membahas tingkah laku. Ada pula yang
membaginya kepada dua golonang atau paham : konsekuensealis
(teleologikal) dan nonkonsekuensealis (deantologikal). Konsekuensealis (teleologikal) berpendapat bahwa
moralitas suatu tindakan ditentukan oleh konsekuensinya, sedang
nonkonsekuensialis berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan ditegntukan oleh
sebab-sebab yang menjadi dorongan dari tindakan itu atau ditentukan oleh
sifat-sifat hakikinya atau oleh keberadaannya yang sesuai dengan
ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip tertentu.
Baik teleologikal maupun
deontologikal dapat dimasukkan ke dalam teori keharusan. Salah satu aliran yang terkenal dalam teori keharusan
yang teleologikal adalah aliran egoisme.
Di antara versi egoisme mengajarkan bahwa tolok ukur bagi penilaian benar
salahnya suatu tindakan adalah dengan memperhatikan untung ruginya tindakan itu
bagi pelakunya sendiri. Egoisme menegaskan bahwa manusia memiliki hak untuk
berbuat apa saja dianggap menguntungkan dirinya. Sedangkan dalam teori
keharusan yang deontologikal, tampillah aliran formalisme. Para pemikir formalis mengatakan bahwa akibat
(konsekuensi) bukan hanya tidak mampu, melainkan juga tidak relevan untuk
menilai suatu tindakan atau perbuatan. Bagi mereka, yang paling penting dan
menentukan adalah motivasi. Motivasi
yang baik akan membuat tindakan atau perbuatan itu benar kendati akibat dari
perbuatan itu ternyata buruk.
4.3. Metaetika
Metaetika merupakan suatu
studi analisis terhadap disiplin etika. Metaetika baru muncul pada abad 20,
yang secara khusus menyelidiki dan menetapkan arti serta makna istilah-istilah
normatif yang diungkapkan lewat pernyataan-pernyataan etis yang membenarkan atau
menyalahkan suatu tindakan. Istilah-istilah normatif yang sering mendapat
perhatian khusus antara lain, keharusan, baik dan buruk, benar dan salah, yang
terpuji dan yang tidak terpuji, yang adil, yang semestinya dan sebagainya. Ada
beberapa teori yang disodorkan oleh aliran-aliran yang terkenal, yaitu :
·
Teori naturalistis, yang
mengatakan bahwa istilah-istilah moral sesungguhnya menamai hal-hal atau
fakta-fakta yang pelik dan rumit. Istilah normatif etis, seperti baik dan benar
dapat disamakan dengan istilah deskriptif, yang dikehendaki Tuhan, yang
diidamkan atau yang biasa. Teori naturalistis juga berpendapat bahwa
pertimbangan-pertimbangan moral dapat dilakukan lewat penyelidikan dan
penelitian ilmiah.
·
Teori kognitivis,
mengatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak selalu benar,
sewaktu-waktu bisa keliru. Itu berarti putusan moral bisa benar dan bisa salah.
Selain itu, pada prinsipnya pertimbangan-pertimbangan moral dapat menjadi
subyek pengetahuan atau kognisi. Teori ini dapat bersifat naturalistis dan
dapat juga bersifat non-naturalistis.
·
Teori intuitif,
berpendapat bahwa pengetahuan manusia tentang yang baik dan yang salah
diperoleh secara intuitif. Teori ini menolak kemungkinan untuk memberi
batasan-batasan non-normatif terhadap istilah-istilah normatif etis. Bagi teori
ini pengetahuan manusia tentang yang baik dan yang salah itu jelas dengan
sendirinya karena manusia dapat merasa dan mengetahui secara langsung apakah
nilai hakiki suatu hal itu baik atau buruk, atau benar tidaknya suatu tindakan.
·
Teori subyektif,
menekankan bahwa pertimbangan-pertimbangan moral sesungguhnya hanya dapat
mengungkapkan fakta-fakta subyektif tentang sikap dan tingkah laku manusia.
Pertimbangan-pertimbangan moral itu tidak mungkin dapat mengungkapkan
fakta-fakta obyektif, karena itu, apabila seseorang mengatakan bahwa sesuatu
itu benar berarti dia menyetuji sesuatu itu benar demikian. Sebaliknya apabila
dia mengatakan sesuatu itu salah berarti dia hanya mengungkapkan
ketidaksetujuannya terhadap apa yang dikatakan salah itu
·
Teori emotif, menegaskan
bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak mengungkapkan sesuatu apapun yagn
dapat disebut selah atau benar kendati hanya secara subyektif.
Pertimbangan-pertimangan moral tidak lebih dari suatu ungkapan emosi
samata-mata. Menurut teori ini istilah-istilah etis tidak memiliki makna apapun
kecuali hanya sebagai tanda dari luapan perasaan dan, dalam hal ini, sama saja
seperti rintihan, seruan dan umpatan.
·
Teori imperatif,
berpendapat bahwa pertimbanga-pertimbangan moral sesungguhnya bukanlah ungkapan
dari sesuatu yang dapat dinilai salah atau benar. Dengan demikian, tak satupun
istilah moral yang dapat memuat sesuatu yang boleh disebut salah atau benar.
Teori ini mengatakan bahwa istilah-istilah moral itu sesungguhnya hanya
merupakan istilah samaran dari keharusan-keharusan ataupun perintah-perintah.
Jadi, apabila dikatakan “kebohongan itu tidak baik”, yang dimaksudkan adalah
“jangan berbohong” dan jika dikatakan “kebaikan itu terpuji dan benar”, yang
dimaksudkan adalah “lakukanlah kebaikan”.
·
Teori skeptis, yang
mengajarkan bahwa sesungguhnya tidak ada kebenaran moral; moralitas tidak
memiliki dasar rasional; yang mengemukakan bahwa prinsip-prinsip moral tidak
dapat dibuktikan kebenarannya; yang berpendapat bahwa salah benarnya suatu hal
itu hanyalah semata-mata soal adat, kebiasaan atau selera; yang mengatakan
bahwa norma-norma etis tidak mutlak; yang menganggap bahwa norma-norma etis itu
bersifat relatif dan hanya benar dan berlaku dalam suatu lingkungan budaya
tertentu dalam kurun waktu tertentu pula.
5. Estetika
Estetika adalah cabang
filsafat yang membicarakan masalah seni (art)
dan keindahan (beauty). Istilah ini
berasal dari bahasa Yunani, aisthesis
yang berarti penyerapan inderawi, pemahaman intelektual atau bisa juga berarti
pengamatan spritual. Dengan kata lain, estetika merupakan studi filsafat yang
mempersoalkan atau mengkaji hal-ihwal nilai keindahan. Keindahan mengandung
arti bahwa di dalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata
secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh dan
menyeluruh. Bagi ilmu pengetahuan yang beraneka ragam itu, filsafat berfungsi
sebagai pengikat ke arah keseragaman dan kesatuan. Keanekaragaman ilmu
pengetahuan yang berada secara terpisah-pisah antara satu dengan yang lain itu
terjadi seragam, tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan
hubungan yang utuh menyeluruh di dalam obyek, metode dan teori kebenaran
filsafat (Suparlan Suhartono, 2004: 162).
Estetika dapat dibagi
menjadi dua, yaitu estetika deskriptif
yang menguraikan dan melukiskan fenomena-fenomena pengalaman keindahan, dan estetika normatif yang mempersoalkan dan
menyelidiki hakikat, dasar dan ukuran pengalaman keindahan. Ada pula yang
membagi estetika kepada filsafat seni dan filsafat keindahan.
Filsafat seni mempersoalkan status ontologis dari karya seni dan mempertanyakan
pengetahuan apakah yang dihasilkan oleh seni serta apakah yang dapat diberikan
oleh seni untuk menghubungkan manusia dengan realitas. Sedangkan filsafat
keindahan membahas apakah keindahan itu dan apakah nilai indah itu obyektif
atau subyektif.
Menurut Plato seni atau art adalah keterampilan untuk
mereproduksi sesuatu, baginya apa yang disebut hasil seni tidak lain dari
tiruan (imitation). Contoh, seseorang
yang melukis panorama alam yang indah sesungguhnya hanya meniru panorma alam
yang pernah dilihatnya. Jadi karya-karya seni hanyalah tiruan dari meja,
burung, kucing dan sebagainya dimana benda semua itu juga merupakan tiruan dari
bentuk ideal yang ada dalam alam ide. Aristoteles sependapat dengan Plato
tentang seni sebagai tiruan dari berbagai hal yang ada. Contoh yang dibuat oleh
Aristoteles adalah puisi. Dia mengatakan bahwa puisi merupakan tiruan dari
tindakan dan perbuatan manusia yang dinyatakan lewat kata-kata. Apabila Plato
menganggap seni tidak begitu penting, Aristoteles justru menganggap seni itu
penting karena memiliki pengaruh yang besar bagi manusia. Aristoteles
mengatakan bahwa puisi lebih filosofis daripada sejarah.
Pada abad pertengahan,
estetika tidak begitu mendapat perhatian dari para filsuf, karena gereja
Kristen semula bersikap memusuhi seni dengan alasan hal itu bersifat duniawi
dan merupakan produk bangsa kafir Yunani dan Romawi. Namun Augustinus (354-430)
memiliki minat cukup besar terhadap seni, dengan mengembangkan suatu filsafat
Platonisme Kristen yang mengajarkan bentuk-bentuk Platonis. Dia mengatakan
bahwa bentuk-bentuk Platonis juga berada dalam pemikiran Tuhan. Menurutnya
keindahan merupakan salah satu bentuk yang ada dalam pemikiran Tuhan, oleh
karenanya keindahan dalam seni dan alam haruslah memiliki pertalian yang erat
dengan agama. Kendatipun mengikuti pendapat Plato tentang keindahan, namun dia
membantah pendapatnya yang mengatakan bahwa seni itu tiruan. Menurut
Augustinus, hewan juga meniru tapi tidak dapat menghsilkan karya seni.
Kemudian David Hume
mengatakan bahwa keindahan bukanlah suatu kualitas obyektif yang terletak di
dalam obyek-obyek itu sendiri, melainkan berada di dalam pikiran. Manusia
tertarik pada suatu bentuk dan struktur tertentu lalu menyebutnya indah. Dia
mengatakan bahwa apa yang dianggap indah oleh manusia sesungguhnya amat
ditentukan oleh sifat alami manusia, yang dipengaruhi juga oleh kebiasaan dan
preferensi individual. Senada dengan Hume, Immanuel Kant berpendapat bahwa
keindahan itu merupakan penilaian estetis yang semata-mata subyektif.
Menurutnya bahwa pertimbangan estetis memberikan fokus yang amat dibutuhkan
untuk menjembatani segi-segi teori dan praktek dari sifat dasar manusia. Dia
menganggap bahwa kesadaran estetis sebagai unsur yang penting dalam pengalaman
manusia pada umumnya.
Seorang filsuf Amerika,
George Santayana (1863-1952) mengembangkan estetika naturalistis. Sama dengan
Hume dan Kant, dia menolak obyektivitas keindahan. Menurut dia keindahan
identik dengan kesenangan yang dialami manusia ketika ia mangamati obyek-obyek
tertentu. Filsuf Itali, Benedetto Croce (1866-1952) mengembangkan teori
estetika lewat alam pikiran filsafat idealisme. Croce menyamakan seni dengan
intuisi, dan intuisi itu sendiri adalah gambar yang berada dalam alam pikiran.
Dengan demikian, seni berada di alam pikiran seniman. Karya seniman dalam
bentuk fisik sesungguhnya bukan seni, melainkan semata-mata alat bantu untuk
menolong penciptaan kembali seni yang sebenarnya berada di alam pikiran
seniman. Dia juga menyamakan intuisi dengan ekspresi. Karena seni sama dengan
intuisi dan intuisi sama dengan ekspresi, maka seni sama dengan ekspresi. Apa
yang diekspresikan itu tidak lain dari perasaan si seniman.
C. FILSAFAT
TENTANG BERBAGAI DISIPLIN ILMU
Sebagaimana telah disinggung terdahulu
bahwa filsafat adalah induk dari semua disiplin ilmu, artinya pada mulanya
filsafat itu mencakup seluruh ilmu pengetahuan yang dikenal saat ini. Namun
kemudian, secara berangsur-angsur, satu demi satu ilmu-ilmu itu mulai
melepaskan diri dari filsafat, menjadi mandiri dan terus mengembangkan diri.
Dalam mengembangkan dirinya, ilmu-ilmu tersebut terus mencari dan menerapkan
berbagai metode, sistem, prinsip dan sebagainya dengan mengadakan
penelitian-penelitian faktual dan praktis. Akan tetapi ketika ilmu pengetahuan
itu mengalami kebuntuan di dalam menghadapi persoalan realitas maka ia kembali
lagi kepada iduknya, yakni filsafat untuk meminta jawaban.
Oleh karena banyaknya pertanyaan atau persoalan yang diajukan
kepada berbagai ilmu pengetahuan telah melampaui kompetensinya dan harus
meminta jawaban dari filsafat, maka lahirlah filsafat khusus yang membahas
tentang berbagai disiplin ilmu. Filsafat khusus ini menerapkan berbagai metode
filosofis dalam upaya mencari dan menemukan
akan serta asas realitas yang dipersoalkan oleh bidang ilmu tersebut demi
memperoleh kejelasan lebih pasti.
Seperti diketahui bersama bahwa saat ini terdapat begitu banyak
ilmu pengetahuan yang berkembang, yang pada dasarnya dapat diklasifikasikan
kepada tiga kelompok besar, yaitu : ilmu-ilmu deduktif (ilmu formal), ilmu-ilmu
induktif (ilmu empiris) dan ilmu-ilmu reduktif (sejarah dan sebagainya). Pada
hakikatnya persoalan-persoalan falsafati terdapat di seluruh bidang ilmu dari
ketiga kelompok tersebut. Dalam makalah ini hanya akan dikemukakan beberapa
saja.
1. Filsafat Politik
Filsafat
politik adalah refleksi filosofis mengenai masalah-masalah sosial politik yagn
dapat dibedakan menjadi dua bagian pembahasan yang berkaitan erat, yakni pertama
mempersoalkan hakikat, kedua mempersoalkan fungsi dan tujuan. Akan tetapi dalam
kenyataannya, filsafat politik bukan hanya mempersoalkan hakikat, fungsi dan
tujuan negara, melainkan juga membahas soal keluaga dalam negara, pendidikan,
agama, hak dan kewajiban individual, kekayaan dan harta milik pemerintah dan
sebagainya. Filsafat politik berbeda dengan ilmu politik, karena ilmu politik
bersifat deskriptif dan bersangkut paut dengan fakta-fakta, sedangkan filsafat
politik bersifat normatif dan bersangkut paut dengan nilai-nilai.
Plato
dalam bukunya Republika mempersoalkan dan membahas berbagai permasalahan
tersebut. Menurut Plato, negara ideal adalah negara yang penuh dengan kebajikan
dan keadilan. Setiap warganya berfungsi sebagaimana mestinya dalam upaya
merealisasikan negara ideal itu, oleh karenanya maka pendidikan harus diatur
oleh negara. Pendidikan menduduki tempat amat penting dalam filsafat politik
Plato. Agar negara ideal itu dapat terwujud nyata, yang patut menjadi raja atau
presiden adalah mereka yang mempelajari filsafat. Dengan kata lain raja haruslah
seorang filsuf, karena hanya filsuflah yang benar-benar mengenal ide-ide.
Selain itu filsuf juga tahu tentang kebijakan, kebaikan dan keadilan, sehingga
pemerintahannya tidak akan mengarah pada kejahatan dan ketidakadilan. Menurut
Plato, hanya filsuflah yang memiliki pengetahuan yang sesungguhnya, dan karena
pengetahuan adalah kekuasaan, maka filsuflah yang layak memerintah.
Sementara
Aristoteles berpendapat bahwa negara adalah persekutuan yang berbentuk polis
yang dibentuk demi kebaikan tertinggi bagi manusia. Negara harus mengupayakan
dan menjamin kesejahteraan bersama yang sebesar-besarnya karena hanya dalam
kesejahteraan umum itulah kesejahteraan individual dapat diperoleh. Menurut dia
alangkah baiknya apabila negara diperintah oleh seorang filsuf-raja yang
memiliki pengetahuan sempurna dan amat bijaksana, karena akan menjamin
tercapainya kebaikan tertinggi bagi para warganya. Akan tetapi lanjutnya, di
dunia ini tidak mungkin dapat ditemukan seorang filsuf-raja yang sempurna,
kareanya yang terpenting adalah menyusun hukum dan konstitusi terbaik yang
menjadi sumber kekuasaan dan menjadi pedoman pemerintahan bagi para penguasa.
Filsafat
politik klasik senantiasa bermuara pada etika, yang pada masa itu menduduki
tempat paling mulia di antara segala cabang filsafat. Persoalan yang
dikemukakan dan pertanyaan yang di ajukan merupakan abstraksi moral yang
bersumber dari upaya untuk memberi arti dan makna bagi kehidupan individu dan
masyarakat. Dengan demikian ada tujuan lebih pasti dan lebih agung yang hendak
dicapai, kendati harus melewati perjuangan yang tidak kunjung selesai. Dalam
filsafat politik modern, pokok persoalan yang utama adalah masalah individu dan
hak-hak miliknya. Itu terlihat jelas lewat tema-tema pembahasan filsafat
politik masa kini yang berkisar pada soal kebebasan, otoritas, hak-hak asasi
manusia, demokrasi, hak dan kewajiban, keadilan dan lain-lain.
2. Filsafat Hukum
Filsafat
hukum berbeda dengan ilmu hukum. Filsafat hukum bersifat universal, karena
mem-persoalkan hukum secara umum. Filsafat hukum tidak membicarakan hukuk di
Indonesia atau di Amerika Serikat, melainkan hukum itu an sich. Adapun
ilmu hukum mempelajari isi perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,
Amerika Serikat, Perandis dan lain sebagainya. Filsafat hukum merupakan
refleksi filosofis mengenai masalah-masalah hukum. Yang dipersoaalkan adalah
apakah sebenarnya dan hakikat hukum; apa dan bagaimana sifat hukum; apakah
fungsi dan tujuan hukum; apakah keadilan itu; dan mengapa manusia harus patuh
terhadap hukum.
Menurut
Plato hukum hanya merupakan sebagian dari pengetahuan yang dimiliki penguasa
negara, yaitu sang filsuf-raja. Hukum bisa berarti baik bagi yang diperintah,
sejauh ia dinilai baik oleh sang filsuf-raja. Karena filsuf-raja selaku
penguasa adalah orang yang paling arif serta memiliki moralitas dan pengetahuan
yang sempurna, maka warga negara tidak perlu merasa khawatir bahwa pada suatu
saat filsuf-raja akan menyalahgunakan kebebasannya terhadap hukum. Sikap Plato
itu merupakan akibat logis dari keyakinannya yang menempatkan pengetahuan di
atas segala-galanya. Ini karena apabila pengetahuan yang dinobatkan menjadi
‘yang mulia’ segala sesuatu yang lain –termasuk hukum– harus berada di
bawahnya.
Akan
tetapi kemudian Plato menyadari bahwa ternyata sangat sulit mencari orang yang
benar-banar arif dan memiliki pengetahuan yang sempurna. Oleh sebab itu, dia
mengungkapkan betapa perlunya menegakkan hukum dan membuat undang-undang.
Dengan kata lain, para penguasa harus memerintah dengan hukum dan berdasarkan
undang-undang. Itu bukan berarti bahwa Plato mendewakan dan mengagungkan hukum.
Menurutnya, undang-undang dibuat demi kebutuhan praktis, namun tidak boleh
mengikat, membelenggu dan membatasi gerak seorang negarawan sejati untuk
mengubah, menambah atau membatalkan semua undang-undang yang telah usang. Plato
juga berpendapat bahwa hukum dan undang-undang bukan semata-mata dimaksudkan
untuk memelihara ketertiban dan menjaga stabilitas negara, tetapi juga untuk
menolong warga negara mencapai keutamaan atau kebajikan pokok sehingga
benar-benar layak menjadi warga negara ideal.
Selanjutnya
Aristoteles berpendapat bahwa hukum adalah sumber kekuasaan dalam negara.
Apabila hukum telah menjadi sumber kekuasaan, maka pemerintahan para penguasa
akan terarah untuk kepentingan, kebaikan dan kesejahteraan umum. Hukum sebagai
sumber kekuasaan harus memiliki kewibaan dan kedaulatan tertinggi dalam negara.
Bagi Aristoteles hukumlah yang seharusnya memiliki kedaulatan tertinggi, bukan
menusia. Karena bagaimanapun arifnya para penguasa itu tidak mungkin mereka
dapat menggantikan kedudukan hukum.
Aristoteles
adalah filsuf pertama yang membedakan antara hukum kebiasaan dan hukum
tertulis. Hukum kebiasaan adalah landasan dari segala pengetahuan dan
pengalaman manusia di sepanjang masa. Oleh sebab itu hukum kebiasaan bersifat
abadi, berlaku dengan sendirinya dan pada dasarnya tidak berubah-ubah. Adapun
hukum tertulis seluruhnya dibuat, disusun dan ditetapkan oleh manusia, maka
dapat diubah sesuai dengan keadaan dan kebutuhan manusia.
3. Filsafat Agama
Filsafat
agama bukanlah cabang theologi, karenanya bukan merupakan pembelaan
filosofis terhadap dogma, ajaran teologis tertentu dan keyakinan religius.
Filsafat agama adalah cabang filsafat yang baru muncul pada abad ke 18.
Filsafat agama ini sering kali dikacaukan dengan theologi natural –
istilah yang telah dikenal sejak abad pertengahan – namun permasalahannya telah
dipersoalkan sejak zaman Yunani kuno. Teologi natural merupakan upaya rasional
untuk menjawab pertanyaan tentang Tuhan, yakni apakah Tuhan itu benar-benar ada
? Jika benar ada, bagaimana keberadaannya itu, bagaimana sifat-sifatnya dan
bagaimana hubungannya dengan manusia dan alam ?. Sebagai contoh dalam hal ini
Xenophanes (570-475 SM) mengatakan bahwa Tuhan itu benar ada dan satu adanya,
Dia tidak diciptakan, tidak bergerak dan tidak berubah. Dia mengisi seluruh
alam, mendengar dan melihat semua serta memimpin alam dengan kekuatan
pikiranNya. Aristoteles mengatakan bahwa Tuhan adalah substansi yang sempurna,
Dia bersifat imaterial, Dia penggerak pertama dan penggerak yang tidak
digerakkan. Dengan demikian, teologi natural dapat dikakatakan sebagai puncak
metafisika.
Dalam
filsafat agama sesungguhnya berarti pemikiran filosofis atau pemikiran kritis
analisis tentang agama. Yang hendak dianalisis oleh filsafat agama adalah
hakikat agama itu sendiri, yakni pengalaman-pengalaman religius manusia. Jadi
filsafat agama tidak menganalisis isi kepercayaan iman, melainkan
mempertanyakan apakah hakikat iman an sich, di samping Selain itu
filsafat agama juga menganalisis berupaya menjelaskan fenomena agama, terutama
hakikat hubungan manusia dengan Tuhannya. Lalu apa hakikat agama?. Agama adalah
suatu keyakinan akan adanya suatu kenyataan trans-empiris, yang begitu
mempengaruhi dan menentukan, sekaligus membentuk dan menjadi dasar tingkah
manusia. Oleh karena itu agama merupakan suatu misteri yang tidak terpecahkan
oleh akal budi manusia.
Pengalaman
religius adalah suatu hubungan pribadi antar manusia dan Tuhan. Hubungan itu
menggoncangkan, tetapi juga memberi kedamaian. R. Otto mengatakan bahwa
hubungan manusia dengan Tuhan membuat manusia gemetar, segan dan takut.
Ungkapan Otto yang terkenal adalah : “Mysterium Tremendum et Fascinosum”,
maksudnya adalah Yang Kudus yang membuat manusia gemetar, segan dan takut itu
juga membuat manusia tertarik dan terdorong untuk menyatukan diri denganNya.
Pengalaman manusia dalam hibingannya dengan Tuhan sangat berbeda dengan
pengalaman biasa. Hubungan dengan Tuhan mendorong manusia untuk mengambil sikap
tertentu, antara lain senantiasa berkomuniaksi denganNya lewat beriman, ibadah,
berdo’a, menyerahkan diri, taat, mengasihi dan bergantung kepadaNya.
4. Filsafat Pendidikan
Dalam arti yang sangat luas, filsafat pendidikan adalah
pemikiran-pemikiran atau konsepsi filosofis tentang pendidikan. Ada pula yang
mengartikan sebagai proses pendidikan, yaitu yang bersangkut paut dengan
cita-cita, bentuk, metode atau hasil dari pendidikan. Juga ada yang mengatakan
bahwa filsafat pendidikan adalah filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan,
yakni yang bersangkut paut dengan berbagai konsep, ide dan metode disiplin ilmu
pendidikan. Secara historis, filsafat pendidikan yang dikembangkan oleh para
filosuf awal seperti Aristoteles, Augustinus dan John Locke adalah tentang
proses pendidikan sebagai bagian dari sitem filsafat mereka dalam konteks
teori-teori etika, politik, epistemologi dan metafisika yang mereka anut.
Sedangka filsafat pendidikan yang dikembangkan sekarang (oleh pengaruh filsafat
analitik) merupakan filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan dalam konteks
dasar-dasar pendidikan yang dihubungkan dengan bagian-bagian disiplin ilmu
lain, yaitu sejarah pendidikan, psikologi pendidikan dan sosiologi pendidikan.
Ada beberapa aliran filsafat yang begitu mempengaruhi
perkembangan filsafat pendidikan saat ini, di antaranya yang paling terpenting
adalah :
· Filsafat Analitik, yaitu
sebuah filsafat pendidikan yang menganalisis dan menguraikan istilah-istilah
dan konsep-konsep seperti pengajaran (teaching),
kemampuan (ability), pendidikan (education) dan sebagainya. Alat yang
digunakan alam filsafat analitik untuk melaksanakan tugasnya adalah logika dan
lingualistik serta teknik-teknik analisis yang berbeda antara seorang filsuf
dengan filsuf yang lain.
·
Progresivisme, yang
berpendapat bahwa pendidikan bukan sekedar mentransfer pengetahuan kepada anak
didik, melainkan melatih kemampuan dan keterampilan berfikir dengan memberi
rangsangan yang tepat. Seorang tokoh pragmatisme, John Dewey, menyatakan bahwa
sekolah adalah institusi sosial dan
pendidikan itu sendiri adalah suatu proses
sosial. Selanjutnya, pendidikan adalah proses kehidupan (process of
living), bukan sebagai persiapan untuk masa depan. Pendidikan adalah proses
kiehidupan itu sendiri, maka kebutuhan individual anak didik harus lebih
diutamakan, bukan subject-oriented.
·
Eksistensialisme,
mengatakan bahwa yang menjadi tujuan utama pendidikan bukan agar anak didik dibantu
mempelajari bagaimana menanggulangi masalah-masalah eksistensial mereka,
melainkan agar dapat mengalami secara penuh eksistensi mereka. Para pendidik
eksistensialis akan mengukur hasil pendidikan bukan semata-mata pada apa yang
telah dipelajari dan di-ketahui oleh anak didik, tetapi yang lebih penting
adalah apa yang mampu mereka ketahui dan alami. Oleh karena itu mereka menolak
pendidikan dengan sistem indoktrinasi.
·
Rekonstruksionisme, yaitu
terutama merupakan reformasi sosial yang menghendaki renaisan sivilisasi
modern. Para penganut aliran ini melihat bahwa pendidikan dan reformasi sosial
itu sesungguhnya sama. Mereka memandang kurikulum sebagai “preblem-centered”.
Pendidikan pun harus menjawab pertanyaan George S. Cound : “Beranikah sekolah-sekolah
membangun suatu orde sosial baru ?”
5. Filsafat Sejarah
Pembahasan
filsafat sejarah mengikuti dua alur yang berbeda, yaitu pertama disebut filsafat
sejarah spekulatif, yang berupaya untuk memandang proses sejarah secara
menyeluruh, baru kemudian mencoba menafsirkannya sedemikian rupa untuk memahami
arti dan makna serta tujuan sejarah. Alur kedua disebut filsafat sejarah
kritis, yang tidak memandang kepada proses sejarah secara menyeluruh,
melainkan justru memikirkan masalah-masalah pokok penyelidikan sejarah itu
sendiri, cara dan metode yang digunakan oleh sejarahwan dan sebagainya.
Dalam
filsafat sejarah spekulatif biasanya ada beberapa pertanyaan yang berupaya
dijawab, antara lain : Apakah hakikat, arti dan makna sejarah itu?. Apakah
sebenarnya yang menggerakkan proses sejarah itu?. Apakah tujuan akhir proses
sejarah?. Tokoh filsafat sejarah spekulatif adalah Giambattista Vico
(1668-1744), Johann Gottfried von Herder (1744-1803), Geong Wilhelm Friedrich
Hegel (1770-1831), Karl Marx (1818-1883) dan Arnold Joseph Toynbee (1889-1975).
Dasar yang digunakan mereka untuk menafsirkan proses sejarah begitu bervariasi.
Ada yang menafsirkan atas dasar pertimbangan empiris, metafisis dan religius.
Karl Max mengatakan bahwa sejarah sesungguhnya mengikuti pola garis lurus
tunggal yang terarah pada suatu tujuan yang dapat diketahui sebelumnya. Menurut
Tounbee, sejarah merupakan suatu siklus perubahan tetap yang senantiasa
berulang.
Adapun
hal-hal yang dipertanyakan dalam filsafat sejarah kritis muncul dari renungan
atas pemikiran dan penalaran menurut ilmu sejarah, terutama bersifat
epistemologis dan konseptual. Pada umumnya pembahasan berkisar pada dua pokok
soal yang penting, yaitu mengenai logisitas ekspanasi yang diketengahkan oleh
sejarahwan profesional dan status epistemologis narasi sejarah masa silam.
Karena itu, timbullah pertanyaan-pertanyaan : Bagaimanakah sifat logis
eksplanasi peristiwa-peristiwa yang dikemukakan oleh sejarahwan?. Apakah narasi
sejarah memiliki validasi obyektif?. Tokohnya adalah Wilhelm Dilthey
(1833-1911), Benedetto Croce (1866-1952) dan Robin George Collingwood
(1889-1945).
6. Filsafat Bahasa
Filsafat
bahasa yang berkembang dewasa ini sering pula disebut sebagai filsafat
analitik. Peloprnya adalah George Edward Moore (1873-1959), seorang filsuf
Inggris dari Universitas Cambridge. Filsafat bahasa yang dikembangkannya
merupakan kritikan terhadap neo-idelalism yang katanya membuat
pernyataan-pernyataan filsafat yang tidak dapat dipahami karena tidak
didasarkan pada logika. Menurutnya tugas filsafat bukanlah untuk memberi
eksplanasi atau interpretasi mengenai pengalaman kita, melainkan memberi
penjelasan dan keterangan terhadap konsep atau gagasan lewat analisis yang
berdasar pada akal sehat (common sense). Dia berpendapat bahwa kekacauan
dalam filsafat terjadi karena ungkapan filsafat bersimpang jalan dengan bahasa
biasa yang digunakan sehari-hari. Hal itu justru menunjukkan bahwa akal sehat (common
sense) telah diabaikan.
Filsuf
lain yang mengembangkan filsafat analitik lebih lanjut adalah Bertrand Russell
(1872-1970) dan Ludwig Wittgenstein (1889-1951), keduanya dari Universitas
Caambridge. Menurut Bertrand Russell, bahasa yang benar merupakan deskripsi
dari suatu realitas. Dengan menyelidiki unsur-unsur paling kecil dari bahasa,
dia menemukan gambaran dari fakta-fakta atomis. Dia menyebut bagian-bagian yang
paling kecil dari bahasa sebagai atom-atom logis. Rangkaian atom-atom logis itu
membentuk apa yang disebutnya molekul-molekul logis, yaitu
pernyataan-pernyataan sederhana. Russell berpendapat bahwa filsafat yang
benar-benar bercorak ilmiah haruslah menggunakan bahasa logika, bukan bahasa
biasa.
Sementara
filsafat Ludwig Wittgenstein terbagi kepada dua periode yang masiug-masing
mempengaruhi aliran filsafat tertentu. Pemikiran Wittgenstein dalam periode
sebelum tahun 1930 (Wittgenstein I), yang dikenal lewat karya tulisnya berjudul
Tractus Logico-philosophicus mempengaruhi Lingkaran Wina dan Neopositivisme
di Inggris. Pikiran Wittgenstein sesudah tahun 1930 (Wittgenstein II) yang
dikenal lewat karyanya berjudul Philosophical Investigations menjadi
titik awal analitika bahasa.
Wittgenstein
I menegaskan bahwa hanya pernyataan-pernyataan deskriptif yang memiliki arti.
Bahasa haruslah merupakan suatu deskripsi atau gambaran yang jelas dari suatu
realitas; sebab bila tidak, ia sama sekali tidak memiliki arti. Sedangkan
Wittgenstein II menyatakan bahwa arti suatu pernyataan tergantung pada jenis bahasa
yang digunakan. Ada berbagai jenis penggunaan bahasa yang semuanya memiliki
logika dan kebenaran tersendiri. Dalam philosophical Investigations,
Wittgenstein menjelaskan konsepnya tentang permainan bahasa (language game).
Permainan bahasa adalah suatu proses pemakaian kata, termasuk pula pemakaian
bahasa yang sederhana. Setiap bentuk permainan bahasa memiliki ketentuan dan
aturan sendiri yang tidak boleh dicampuradaukkan agar tidak menimbulkan
kekacauan. Dengan demikian, jelas terlihat bahwa tidak mungkin ada ketentuan
dan perturan umum yang dapat mengatur seluruh bentuk permainan bahasa. Jelas
pula bahwa arti sebuah kata tergantung pada pemakaiannya dalam kalimat, dan
arti kalimat tergantung pada pemakaiannya dalam bahasa.
7. Filsafat Matematika
Sejak sekitar millenia
ke 5 sampai ke 3 SM, matekatika telah dikenal di Mesir dan Babilonia sebagai
suatu alat yang sangat berguna untuk memecahkan berbagai persoalan dan masalah
praktis. Sebagai contoh, banjir tahunan di lembah Nil memaksa orang-orang Mesir
purba mengembangkan suatu rumusan atau formula yang membantu mereka menetapkan
dan menentukan kembali batas-batas tanah. Rumus-rumus matematika juga digunakan
untuk konstruksi, penyusunan kalender dan perhitungan dalam perniagaan. Akan
tetapi, matematika sebagai ilmu baru dikembangkan oleh para filsuf Yunani
sekitar 5000 tahun kemudian, dengan filsuf besar yang terkenal adalah
Pythagoras dan Plato. Kendati dapat dikatakan bahwa para filsuf Yunani kuno
bukan hanya menguasai matematika, melainkan juga ikut mengembangkan.
Bagi Pythagoras, matematika adalah alat yang sangat penting
untuk memahami filsafat. Dia juga menemukan fakta yang menunjukkan bahwa
fenomena yang berbeda dapat memperlihat-kan sifat-sifat matematis yang identik.
Karena itu dia menyimpulkan bahwa sifat-sifat tersebut dapat dilambangkan ke
dalam bilangan dan dalam keterhubungan angka-angka. Semboyan Pythagoras yang
sangat terkenal adalah Panta Arithmos,
artinya segala sesuatu adalah bilangan. Sedangkan Plato berpendapat bahwa
geometri adalah kunci untuk meraih pengetahuan dan kebenaran filosofis.
Menurutnya, ada suatu ‘dunia’ yang disebutnya ‘dunia ide’ yang dirancang secara
matematis. Segala sesuatu yang dapat dipahami lewat indera hanyalah suatu
representasi tidak sempurna dari ‘dunia ide’ tersebut.
Prinsip pertama dan utama matematika pada saat itu adalah
abstraksi karena bagi para filsuf Yunani yang mengembangkan matematika kebenaran pada hakikatnya hanya
bersangkut paut dengan suatu entitas permanen dan suatu keterhubungan serta
pertalian yang tidak berubah-ubah. Dengan demikian jelas bahwa sejak semula
matematika bukan hanya merupakan alat bagi pemahaman filsafat, melainkan juga
merupakan bagian dari pemikiran filosofis itu sendiri. Pad masa kini filsafat
matematika lebih mengeraskan titik tumpunya pada studi tentang konsep-konsep
matematika, hakikat matematika –termasuk ciri-ciri dan karakteristiknya-,
prinsip-prinsip serta justifikasi yang digunakan di dalam matematika dan
landasan matematika. Adapun suara yang terdengar dari kalangan para ahli matematika
yang mengharapkan agar para filsuf dapat berbuat lebih banyak dengan menjadikan
filsafat matematika sebagai penyusun, penghimpun dan penerbit ilmu matematika
yang dianggap telah berkeping-keping dan kacau balau selama berabad-abad.
D. FILSAFAT TENTANG TUHAN, MANUSIA DAN ALAM
1. Masalah
Ketuhanan
Ketika Perang Dunia II berkecamuk, terdapat suatu
ungkapan yang populer bahwa di dalam lubang-lubang perlindungan tidak ada
penganut ateisme (paham anti Tuhan). Makna yang terkandung dalam
ungkapan itu adalah apabila seseorang telah terjebak dalam situasi yang
membahayakan jiwanya tentu ia segera mengakui adanya Tuhan. Dalam kondisi
seperti itu orang merasakan betapa perlunya Tuhan, dan sebagai konsekwensinya
dia harus mengakui adanya Tuhan. Demikian Louis O. Kattsoff dalam bukunya
Pengantar Filsafat (1996 : 443), ketika mengawali pembahasan tentang Apakah
Tuhan Itu ?.
Pada dasarnya manusia – secara fitrah atau naluriyah –
memerlukan suatu bentuk kepercayaan kepada kekuatan gaib yang dapat
melahirkan tata nilai guna menopang hidup budayanya. Dalam sejarah kepercayaan
umat manusia yang sudah ribuan tahun ini, tercatat beberapa perkembangan
sisitem kepercayaan kepada yang gaib tersebut, yaitu dinamisme, animisme,
politeisme dan monoteisme.[15][15] Dinamisme adalah bentuk
kepercayaan bahwa benda alam semesta ini mempunyai kekuatan yang melebihi
kekuatan manusia, sehingga terkadang dapat mendatangkan bahaya bagi mereka. Air
yang selama ini mereka anggap sangat bermanfaat bagi kehidupan, tiba-tiba
mendatangkan bencana seperti banjir besar dan dapat membahayakan. Tanah yang
selama ini dianggap dapat menumbuhkan dan menyuburkan tanaman, tiba-tiba
bergoyang dan menghancurkan harta benda. Demikian pula pohon-pohon yang selama
ini dapat dimakan buahnya tiba-tiba membesar dan sangat rindang serta bersifat
angker, dan lain sebagainya. Dari sinilah muncul kepercayaan bahwa setiap benda
yang ada di sekeliling manusia mempunyai kekuatan misterius, sehingga perlu
diyakini, disembah dan dimintai pertolongannya aga bisa memelihara atau
melindungi manusia.
Berbeda dengan dinamisme, animisme mempercayai bahwa
setiap benda alam semesta, termasuk manusia dan binatang serta benda yang tidak
bernyawa sekalipun mempunyai roh yang tidak terhingga banyaknya. Roh dalam
pemahaman masyarakat primitif ini adalah sesuatu yang sangat halus sekali,
mempunyai bentuk, umur dan mampu makan minum serta mempunyai kekuatan dan
kehendak, merasa senang dan susah. Roh diyakini bahwa apabila marah akan
membahayakan manusia, sehingga perlu disuguhi sesuatu yang membuat dia senang
dan rela seperti dengan cara sesajian berupa makanan atau memberikan kurban
kepadanya. Jadi animisme adalah paham yang mempunyai kepercayaan kepada roh,
yaitu bentuk kepercayaan kepada kekuatan gaib meningkat menjadi kepercayaan
kepada roh.
Sementara itu, politeisme adalah bentuk kepercayaan
kepada abstarksi atau fungsi benda yang dianggap mempunyai kekuatan gaib. Dalam
kepercayaan politeisme ini kekuatan gaib disimbolkan dengan Dewa yang
masing-masing mempunyai fungsi tersendiri, seperti menerangi alam, menurunkan
hujan, menetapkan nasib baik dan buruk manusia dan lain sebagainya. Pada
awalnya Dewa itu mempunyai kedudukan yang hampir sama, namun karena beberapa hal
akhirnya lama kelamaan beberapa di antara mereka memiliki kedudukan yang lebih
tinggi dari yang lain.
Adapun monoteisme adalah bentuk kepercayaan kepada satu
Tuhan. Orang-orang yang berfikir lebih mendalam menganggap bahwa sistem
kepercayaan politeisme (banyak Tuhan / Dewa) tidak rasional dan tidak
memuaskan. Oleh sebab itu mereka mencari sistem kepercayaan yang dapat diterima
akal dan memuaskan. Dari sini timbullah aliran yang mengambil satu Dewa dari
beberapa Dewa yang ada sebagai Dewa utama untuk disembah.
1.1. Paham atau Aliran Ketuhanan
Dalam catatan sejarah ada beberapa
pandangan manusia tentang Tuhan, yaitu teisme, deisme, panteisme dan penenteisme.[16][16] Aliran teisme
mengatakan bahwa alam diciptakan oleh Tuhan yang tidak terbatas, antara Tuhan
dan makhluk sangat berbeda. Menurut teisme, Tuhan di samping berada di alam
juga jauh dari alam. Menurut aliran ini Tuhan setelah menciptakan alam, tetap
aktif menjaga dan memelihara alam. Agama-agama besar seperti Yahudi, Nasrani
dan Islam pada dasarnya menganut paham teisme ini. Terdapat perbedaan yang
cukup menonjol tentang teisme dalam agama Islam dan Yahudi dengan Kristen
(Nasrani). Dalam Islam dan Yahudi Tuhan adalah zat yang Esa, sedangkan dalam
Kristen Tuhan adalah tiga pribadi (Trinitas).
Dalam agama Islam kejelasan tentang Tuhan adalah Maha
Esa, sekaligus transenden dan imanen. Beberapa ayat al-Qur’an mengutarakan
konsep ini, seperti sSurah Al-Ikhlas menunjukkan tentang keesaan Tuhan (Allah),
sementara transenden Tuhan dijelaskan dalam surah al-A’raf ayat 54 yang
berbunyi, “Sesungguhnya Tuhan kamu adalah Allah yang telah menciptakan langit
dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Adapun Imanen Tuhan
dijelaskan dalam surah Qaf ayat 16, yang artinya : “Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami
lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”. Kemudian surah Yunus ayat 3
menjelaskan bahwa Tuhan di samping transenden juga imanen, yang artinya,
“Sesungguhnya Tuhan kamu adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam
enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arys untuk mengatur semua urusan”.
Di awal ayat ini dijelaskan bahwa Tuhan berada di atas ‘Arsy yang berarti Dia
jauh dari alam, namun di akhir ayat dijelaskan bahwa Tuhan mengatur semua
urusan yang mengesankan bahwa Dia selalu memperhatikan alam (imanen). Konsep
teisme dalam Islam lebih lanjut dijelaskan oleh seorang Imam besar sekaligus Filosof
Muslim bernama Al-Ghazali. Menurutnya Allah adalah zat yang Maha Esa dan
pencipta alam semesta serta berperan aktif dalam mengendalikannya. Allah
menciptakan alam dari tidak ada, dan Dia bisa mengubah hukum alam dan semua
ciptaannNya – sekalipun menurut manusia dianggap tidak dapat berubah – sesuai
dengan kekuasaan dan kehendak-Nya yang mutlak.
Tokoh Kristen yang pertama kali mengemukakan gagasan
teisme adalah St. Agustinus yang mengatakan bahwa Tuhan ada dengan sendirinya,
tidak diciptakan, tidak berubah, bersifat abadi dan personal serta maha
sempurna. Menurutnya Tuhan mencitptakan alam, juah dari alam dan di luar
demensi waktu, tetapi Dia mengendalikan setiap kejadian dalam alam ini. Manusia
menurutnya adalah sama dengan alam, tidak abadi, terdiri atas jasad yang fana
dan jiwa yang tidak mati. Setelah kematian, jiwa menunggu penyatuan, baik
dengan jasad lain maupun dengan keadaan yang lebih tinggi, yaitu sorga atau
neraka. Ketika dibangkitkan jiwa manusia akan mencapai kesempurnaan. Karena itu
hakikat manusia yang sebenarnya adalah jiwa, bukan jasadnya. Jiwa yang bersih
akan kembali kepada Penciptanya, yaitu Tuhan.
Sementara Filosof Yahudi yang menganut paham teisme
adalah Ibnu Maimun atau Maimonides. Menurutnya Tuhan meliputi semua posisi yang
penting, tidak berjasad dan tidak berpotensi serta tidak menyerupai makhluk.
Dalam hal ini Tuhan sama sekali jauh dari pengetahuan dan pemahaman manusia,
karena Dia adalah transenden. Sungguhpun demikian, lanjut Ibnu Mainum Tuhan
tetap memperhatikan nasib makhluk-Nya dan mengabulkan do’a hamba-Nya. Bukti
perhatian Tuhan kepada makhluk antara lain memberikan nikmat yang
bertingkat-tingkat. Semakin penting sesuatu itu untuk kebutuhan hidup maka
semakin mudah dan murah diperoleh, sebaliknya semakin tidak dibutuhkan maka
semakin jarang dan mahal didapatkan. Contohnya udara, air dan makanan adalah
merupakan kebutuhan pokok manusia. Dalam hal ini udara paling dibutuhkan,
karena tanpa udara manusia akan mati dalam waktu singkat, sementara dia bisa
bertahan hidup satu sampai dua hari kendati tidak ada air. Udara sebagai
kebutuhan paling pokok sangatlah mudah diperoleh dan lebih banyak daripada air. Demikian pula halnya
dengan air akan lebih mudah diperoleh ketimbang makanan, karena air lebih
dibutuhkan daripada air. Orang mungkin masih bisa bertahan hidup selama satu
minggu atau lebih dengan tidak makan, tapi dia akan mati jika tidak minum
selama tiga hari saja.
Adapun deisme adalah suatu paham atau aliran
ketuhanan yang mengatakan bahwa Tuhan berada jauh di luar alam. Setelah Tuhan
menciptakan alam semesta, Dia tidak lagi memperhatikan dan tidak memeliharanya.
Alam dibiarkan berjalan dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan ketika
proses penciptaannya. Aturan-aturan itu sangat sempurna dan tidak berubah-ubah.
Dalam paham deisme ini Tuhan diibaratkan dengan tukang buat jam yang sangat
ahli, sehingga setelah jam itu selesai dibuat tidak lagi membutuhkan si
pembuatnya. Jam itu berjalan dengan mekanisme yang telah disusun secara rapi.
Begitulan bahwa alam menurut paham deisme ini bagaikan jam, yang setelah
diciptakan tidak lagi membutuhkan Tuhan
Deisme mulai muncul pada abad ke 17 M yang dipelopori
oleh Newton. Menurutnya, Tuhan hanya pencipta alam dan jika ada kerusakan, baru
alam membutuhkan Tuhan untuk memperbaikinya. Kemudian dengan kemajuan ilmu
pengetahuan, maka sebagian ilmuan semakin meyakini kebenaran dan keuniversalan
hukum-hukum fisika yang tidak berubah. Akibatnya, ahli fisika beranggapan bahwa
kebutuhan alam terhadap Tuhan dengan sendirinya semakin kecil. Lama kelamaan
mundullah paham bahwa Tuhan hanya menciptakan alam, selanjutnya membiarkannya
berjalan menurut hukum-hukum yang telah ditentukan. Para penganut deisme
sepakat bahwa Tuhan itu Esa dan jauh dari alam serta maha sempurna. Mereka juga
sepakat bahwa Tuhan tidak melakukan intervensi terhadap alam lewat kekuatan
supranatural.
Sedangkan Panteisme adalah paham yang berkeyakinan
bahwa seluruhnya adalah Tuhan. Menurut paham ini bahwa seluruh alam ini adalah
Tuhan dan Tuhan adalah seluruh alam. Benda-benda yang dapat ditangkap dengan
pancaindera adalah bagian dari Tuhan. Paham ini jelas bertolak belakang dengan
deisme yang mengatakan bahwa Tuhan itu jauh dengan alam. Plotinus termasuk
pendukung paham ini, yang dengan teori emanasinya dia mengatakan bahwa alam
merupakan pancaran atau sesuatu yang mengalir dari Tuhan. Menurutnya, Tuhan tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung
arti banyak. Yang banyak itu hanya mengalir dari yang satu, yang wajib ada,
sederhana dan absolut.
Filosof modern yang mempelopori panteisme adalah Benedict
de Spinoza dan Victoe Ferkiss. Menurut Benedict de Spinoza, dalam jagad raya
ini tidak ada yang rahasia karena akal manusia mencakup segala sesuatu,
termasuk Tuhan, bahkan Tuhan menjadi obyek pemikiran akal yang terpenting.
Menurut dia hanya ada satu substansi dan yang dimaksud substansi adalah apa
yang ada dalam dirinya sendiri. Artinya bahwa substansi adalah sesuatu yang
berdiri sendiri, yang tidak tergantung kepada apapun selain dirinya. Sementara
Victor Ferkiss mengemukakan bahwa alam identik dengan Tuhan, sehingga manusia
merusak alam berarti merusak Tuhan. Berdasarkan keyakinan ini, segala sesuatu
yang terbatas, seperti alam beserta isinya tidak dapat berdiris sendiri,
melainkan tergantung kepada substansi yang Satu tersebut. Substansi yang satu
itu berada dalam segala sesuatu yang beraneka ragam. Tuhan dalam paham ini
merupakan kesatuan umum (impersonal) yang mengungkapkan diri-Nya dalam alam.
Selanjutnya, Panenteisme adalah suatu paham yang
mengatakan bahwa semua dalam Tuhan. Beda dengan panteisme yang mengatakan bahwa
semua adalah Tuhan. Panenteisme lebih menekankan Tuhan pada aspek terbatas,
berubah, mengatur alam dan bekerjasama dengan alam untuk mencapai kesempurnaan,
ketimbang memandang Tuhan sebagai zat yang tidak terbatas, menguasai alam dan
tidak berubah. Menurut paham ini Tuhan terdiri dari dua kutub, yaitu kutub
potensi yakni bahwa Tuhan abadi, tidak berubah dan transenden, dan kutub
aktual dalam arti bahwa Tuhan berubah, tidak abadi dan imanen (dekat dengan
alam).
Salah seorang pelopor panenteisme adalah Alfred North
Whitehead. Menurutnya Tuhan sebenarnya terbatas, sebab untuk menjadi sesuatu
yang aktual harus terbatas. Tidak mungkin Tuhan tidak terbatas dalam kutub
aktual-Nya, sebab jika Dia tidak terbatas tentu menjadi jahat sekaligus baik.
Karena itu Tuhan sama sekali tidak bebas, tetapi tergantung pada alam. Dengan
demikian Tuhan dan alam bekerjasama untuk mencapai kesempurnaan yang tertinggi.
Dalam hal ini Tuhan berfungsi sebagai pengatur alam aktual. Jadi Tuhan ada
bersamaan dengan alam, bukan ada sebelumnya, namun alam tidak identik dengan
Tuhan. Tuhan sebagai daya yang menggerakkan dan mengatur alam agar mampu
mencapai tujuannya, sedangkan alam berfungsi menolong Tuhan agar tertutup
kekurangan-Nya.
Demikian pandangan atau paham manusia tentang Tuhan yang
kesemuanya itu, baik teisme, deisme, pnteisme dan penenteisme tersebut memanga
tidak ada yang benar-benar memuaskan para filosof. Hal ini karena masalah Tuhan
memang masalah yang paling rumit, sebab Dia adalah zat yang immaterial,
supranatural dan maha gaib. Dalam kajian agama maupun filsafat, Tuhan memang
merupakan masalah yang paling pokok. Agama tanpa kepercayaan kepada Tuhan tidak
disebut agama, demikian pula filsafat yang pertama kali muncul adalah masalah
metafisik yaitu dari mana asal usul alam semesta dan zat apa yang mendasarinya.
Tuhan Personal dan Tuhan Impersonal
Dalam perspektif filsafat, Tuhan masih bersifat impersonal karena
belum memiliki identitas yang jelas. Para filosof, terutama pada masa Yunani
kuno, baru mampu mengetahui realitas tertinggi sebagai sebab dari semua wujud,
realitas itu belum merupakan konsep yang utuh sebagaimana dalam agama. Sebagai
contoh pendapat Thales bahwa alam semesta berasal dari air, sedangkan Anaximenes
menganggap berasal dari apeiron (sesuatu yang tidak terbagi), dan Anaximandros
mengatakan bahwa alam semesta berasal dari udara, sementara Empedokles
mengatakan bahwa itu berasal dari empat unsur pokok yaitu udara, air, tanah dan
api.
Plato dan Aristotels kemudian mengemukakan pendapat yang sudah
sampai pada pemikiran terhadap suatu realitas di luar alam, yaitu zat yang
berbeda dengan alam, bersifat immateri, abadi, esa dan sempurna. Plato
menamakan zat tersebut Ide Kebaikan dan Aristoteles menyebutnya dengan Sebab
Utama atau Penggerak Yang Tidak Bergerak.[17][17] Dalam pemikiran filsafat,
realitas tertinggi ini merupakan ide manusia dan kemestian logis dari
pemikiran, namun belum disebut sebagai Tuhan yang personal, tetapi Tuhan yang
impersonal, sebab tidak memiliki identiras. Tuhan yang personal hanya terdapat
dalam paham agama, seperti Yahudi, Nasrani dan Islam, karena identirasnya sudah
begitu jelas. Pada prinsipnya Tuhan yang personal dan Tuhan yang impersonal
dapat dibedakan sebagai berikut :
·
Tuhan
personal menekankan pada identitas sebagai zat yang sempurna dan pencipta,
Tuhan impersonal tidak mempersoalkan identitas, tetapi yang terpenting adalah
ide tentang Tuhan merupakan konsekwensi logis dari keberadaan wujud.
·
Tuhan personal
berasal dari petunjuk wahyu, sedangkan Tuham impersonal berasal dari kesimpulan
hasil pemikiran manusia. Karena itu, dalam agama Tuhan adalah zat pencipta dan
sekaligus pemelihara alam, sedangkan dalam filsafat Tuhan hanya sebagai sebab
awal dan tujuan segala wujud.
·
Tuhan
personal merupakan zat yang menciptakan alam semesta dan sangat berbeda dengan
hasil ciptaan-Nya sehingga perlu disembah, sedangkan Tuhan impersonal tidak
perlu disembah karena merupakan hasil ede manusia.
·
Tuhan personal
adalah pencipta alam semesta, sedangkan Tuhan impersonal merupakan sebab atau
sumber terjadinya alam semesta
2. Masalah
Manusia
Manusia termasuk makhluk yang sangat kompleks dan unik, sehingga
pembahasan tentang manusia hingga kini belum juga tuntas. Manusia memang
merupkan suatu obyek penyelidikan yang berharga, karena ia menyelidiki dirinya
sendiri dan pikirannya dikacaukan oleh dirinya sendiri. Ini berarti bahwa
manusia mempersoalkan dirinya sendiri. Dari berbagai pemikiran dan
penganalisaan serta penyelidikan tentang manusia akhirnya melahirkan disiplin
ilmu seperti antropologi, psikolog dan sosiologi. Dalam pengkajian filsafat antropologi
membahas hakikat manusia yang menyangkut tentang apa, dari mana dan akan kemana
atau untuk apa manusia. Pemikiran tentang masalah manusia ini pada gilirannya
melahrikan beberapa aliran, seperti antara lain materialisme, idealisme,
dualisme.[18][18]
Menurut materialisme (juga disebut naturalisme) hakikat manusia
adalah materi, yakni apa yang kelihatan atau realitas. Rohani manusia memang
ada, akan tetapi bukan hakikat. Kepuasan dan kebahagiaan manusia terletak pada
badan atau fisik, maka jika badan hancur karena mencuti atau mempertahankan
kebenaran selesailah manusia itu, sedangkan ruhnya hilang tidak karuan dan
berpisah bersama badan. Tentu saja dalam hal ini tidak ada surga dan neraka.
Dengan demikian mati merupakan hal yang sangat sederhana, karena tidak ada
risiko bagi jiwa atau ruh. Idealisme justru berpendapat sebaliknya, yaitu bahwa
hakikat manusia adalah rohnya. Paham ini akan berujung pada masalah Tuhan,
Surga dan Neraka.
Asal manusia menurut materialisme adalah materi, sedangkan menurut
idealisme berasal dari hidup manusia berasl dari Yang Hidup (Tuhan). Adapun
tujuan hidup manusia menurut materialisme mati adalah hal yang sangat sederhana
dan tidak perlu dirisaukan sedangkan dalam pandangan idealisme mati adalah
kelanjutan dari kehidupan di dunia. Aliran dualisme mengatakan bahwa manusia
terdiri dari dua unsur, yaitu matarial dan imaterial, jasad dan jiwa. Keduanya
sama-sama hakikat, karena itu materi (jasad) tidak muncul dari imateri (roh /
jiwa) dan imateri (jiwa) bukan pula muncul dari materi (jasad). Adapun aliran
dualisme menyatakan bahwa hakikat manusia adalah tercakup kepada dua unsur
jasmani dan rohaninya, disebut manusia yang sebenarnya adalah ketika meliputi
kedua unsur itu. Oleh karena itu, menurut aliran ini kebutuhan manusia yang
menyangkut jasmaniyan maupun ruhaniyah harus sama-sama dipenuhi agar keduanya
sama-sama memperoleh kesejahteraan dalam hidupnya.
2.1.
Hubungan
Jiwa dan Raga
Meskipun ketiga aliran tersebut berbeda padangan dalam menentukan
hakikat manusia, namun pada dasarnya mereka sepakat bahwa manusia terdiri dari
unsur jiwa dan raga. Yang menjadi persoalan selanjutnya adalah sampai di mana
hubungan antara jiwa dan raga pada manusia. Berikut ini uraian singkat tentang
jawaban dari persoalan tersebut, dan kita terlebih dahulu mulai dari pembahasan
masalah jiwa.[19][19]
Ada tiga klasifikasi yang
tepat tentang teori jiwa (mind),
yaitu :
1) Teori yang
memandang jiwa sebagai substansi yang berjenis khusus, yakni yang
dilawankan dengan material. Teori ini dikembangkan oleh Sigmund Frued, dia
mengatakan bahwa jiwa manusia terdiri dari tiga bidang, yaitu id, ego
dan superego. Id adalah nafsu yang terdapat jauh di bawah sadar (nafsu
bawaan dan nafsu seksual (kelamin/libido)). Sedangka ego atau aku adalah jenis
jiwa semacam perantara yang terdapat di antara nafsu-nafsu di dalam id dengan
dunia luar yang terdiri dari material serta kemasyarakatan. Ego ini juga
meliputi proses-proses akali jiwa manusia yang memilih sarana-sarana yang dapat
digunakan untuk menjelmakan nafsu-nafsu tersebut. Adapun superego adalah jiwa
yang setelah mengalami kemajuan dalam kehidupan, ia tidak hanya berhasil
mengembangkan cara-cara untuk menghadapi kenyataan, melainkan melalui masyarakat
ia juga telah menetapkan seperangkat kaidah dan cita-cita yang merupakan bagian
dari segi kehidupan kejiwaan manusia
2) Teori yang
memandang jiwa sebagai sejenis kemampuan; semacam pelaku atau pengaruh
dalam berbagai kegiatan. Menurut Joseph A. Leihton jiwa itu bersifat
trans-spasila (mengatasi segenap ruang), dalam arti bahwa jiwa merupakan
pemersatu yang sadar dan pusat ketegangan pengalaman ragawi. Untuk menjelaskan
hal ini dapat dilihat dari sejumlah proses kejiwaan berikut. Rasa sakit itu
bertempat pada bagian raga dan dapat meliputi suatu lingkungan yang lebih besar
atau lebih kecil. Bagi seorang ahli ilmu jiwa sesungguhnya rasa sakit tidak
terdapat di tempat yang dirasakan sakit, melainkan terdapat pada jiwa. Tentu
saja yang dimaksudkan adalah rangsangan tadi melalui syaraf yang kemudian
dilanjutkan ke jiwa sebagai penerima rangsangan terakhir yang membuahkan rasa
sakit. Dapat juga dipahami bahwa jiwa seakan-akan mengembang ke bagian raga
yang terasa sakit, sehingga rasa sakit itu dikatakan terdapat di situ karena
jiwa juga terdapat di situ. Tafsiran inilah yang dimaksudkan oleh Leigton bahwa
jiwa manusia dapat mengembang dan merembisi bagian-bagian lain. Leighton
selanjutnya mengatkan bahwa jiwa manusia merupakan pusat hubungan-hubungan dan
mempunyai kemampuan mengendalikan, merembisi, mempersatukan dan mengarahkan
kembali ketegangan-ketegangan spasial (ruang dan waktu) yang terdapat dalam
lingkungan fisiknya. Kemampuan yang dipakai sabagai sarana melakukan hal
tersebut merupakan tenaga khas yang terjadi dalam berkehendak yang sifatnya
refleksi dapat menentukan pilihan. Di samping itu terdapat kegiatan jiwa yang
lain yaitu mengingat kembali. Melalui kegiatan ini seseorang dapat
mengendalikan hari depan dengan memanfaatkan hal-hal yang terdapat pada masa
silam. Dalam hal ini jiwa mengadakan pilihan yang sifatnya menyaring,
mengadakan analisa, sintesa dan mengingat kembali sehingga dapat membebaskan
dirinya dari keadaan yang semata-mata ditentukan oleh benda-benda jasmaniyah.
Inilah fungsi tertinggi yang dimiliki oleh jiwa. “Sesungguhnya jiwa
merupakan kesadaran organisme mengenai hubungan antara dirinya dengan hal-hal
lain yang sebenarnya atau yang bersifat kemungkinan di dalam kerangka suatu
sistem kenyataan yang dinamis” Demikian menurut Leighton. Jika tindakan
yang dilakukan seseorang berdasarkan pertimbangan akal, maka berarti dia
mengingat kembali masa lampau, meramalkan masa depan dan menyadari
keterlibatannya dalam akibat-akibat tindakan itu, akhirnya memilih untuk
melakukan sesuatu. Inilah fungsi-fungsi yang dimiliki oleh jiwa. Dengan
demikian pendirian Leighton adalah bahwa Jiwa tidak sama dengan raga, meskipun
yang satu tidak terpisahkan dengan yang lain. Jiwa merupakan sesuatu yang
hakiki untuk kehidupan dan kebahagiaan manusia.
3) Teori yang
memandang jiwa semata-mata sebagai sejenis proses yang tampak pada
organisme-organisme hidup. Teori ini dimunculkan oleh James B. Pratt. Dalam
bukunya berjudul Matter and Sprit Pratt menyebutkan bahwa untuk
menggambarkan ciri-ciri jiwa adalah dengan jalan melukiskan kegiatan apa yang
dilakukan oleh jiwa itu sendiri. Menurutnya jiwa adalah sesuatu yang mempunyai
cita-cita dan tujuan, berkehendak, menderita, berusaha dan mengetahui. Jiwa
menurutnya memiliki empat kemampuan, yaitu (1) kemampuan menghasilkn
kualitas-kualitas penginderaan, (2) kemampuan menghasilkan makna-makna yang
berasal dari penginderaan khusus, (3) kemampuan memberikan tanggapan terhadap
hasil peng-inderaan dan makna-makna dengan jalan merasakan, berkehendak atau
berusaha, dan (4) kemampuan memberikan tanggapan terhadap proses-proses tang
terjadi dalam benak untuk mengubah haluannya. Dan selain itu tidak ada suatu
hal pun yang mempunyai sifat seperti jiwa, yakni dapat mengingat,
berkecenderungan, merasakan, bertujuan dan bercita-cita.
Dalam hal ini Pratt menggunakan dua macam ungkapan yang berbeda,
yaitu “jiwa adalah apa yang dikerjakannya”, yang berarti jiwa adalah suatu
proses dan “jiwa menggunakan raga sebagai alat" maksudnya adalah merupakan
semacam kemampan. Dia mengakui bawa hubungan-hubungan yang terdapat antara jiwa
dan raga sangat berliku-liku, sehingga sulit untuk mengtakan apakah jiwa atau
raga. Tetapi kegiatan jiwa dapat diselidiki hanya melalui pernyataan-pernyataan
ragawi. Ini bermakna bahwa pada manusia ada jiwa ada raga atau ada proses
kejiwaan dan proses ragawi, dan dengan suatu cara tertentu proses kejiwaan
menggunakan proses ragawi sebagai alatnya. Di sini jelas, Pratt bahwa penganut
dualisme. Akan tetapi Partt juga mengatakan bahwa jiwa sebagai proses
tidak sama dengan raga sebagai proses. Proses kejiwaan seperti ingatan,
kehendak, pemikiran, dan sebagainya (proses konatif dan kognitif) sama sekali
berbeda dengan proses ragawi seperti keceatan, dampak, gaya berat, dan
sebagainya, namun sekaligus menjadi petunjuk yang jelas adanya keadaan
saling mempengaruhi antara jiwa dan raga. Selanjutnya dia mengatakan bahwa
cara untuk menyelidiki proses-proses kejiwaan adalah melalui penjelmaan ragawi.
Ini berarti dengan suatu cara tertentu proses ragawi sesungguhnya merupakan
penjelmaan proses kejiwaan.
4) Teori yang
menumbuhkan pengertian jiwa dengan pengertian tingkah laku. Seorang ahli ilmu
jiwa Amerika bernama John Watson merumuskan sebuah teori yang disebut behaviorisme.
Pendirian ini mengatakan bahwa yang namanya jiwa atau bahkan kesadaran itu
sesungguhnya tidak ada, dan dia senantiasa menggunakan istilah-istilah tersebut
untuk menunjuk suatu macam tingkah laku. Sementara itu Y.H. Krikorian yang
menganut naturalisme mengembangkan teori jiwa sebagai tingkah laku.
Menurut Krikorian bahwa apabila seseorang mengatakan sesuatu yang di dalamnya
terdapat kata “jiwa”, maka yang ditunjuk adalah suatu jenis tingkah laku.
Karena pada dasarnya setiap pengamatan tentang jiwa seseorang senantiasa
memperhatikan tingkah laku orang yang bersangkutan. Sehubungan satu-satunya
pendekatan tentang hal itu adalah penelitian mengenai tingkah laku, maka
menurut Krikorian, pasti dapat dipahami bahwa jiwa didefinisikan sebagai
sejenis respon. Akan tetapi tidak setiap respon bersifat kejiwaan, seperti
misalnya bernafas responnya adalah berupa oksidasi. Jelas ini bukan
merupakan respon kejiwaan, meskipun seandainya pernafasan itu terjadi di bawah
pengendalian pusat-pusat otak manusia. Begitu pula dengan gerakan refleks tidak
ada yang bersifat kejiwaan, karena respon yang terjadi tidak sampai pada
tingkatan jiwa, melainkan tetap bersifat mekanis atau kimiawi.
Krikorian selanjutnya mengatakan bahwa jika ada respon yang
dikatakan bersifat kejiwaan, maka terdapat suatu reaksi yang bukan hanya
ditujukan terhadap rangsangan sebagai obyeknya, melainkan juga kepada makna
rangsangan tersebut. Respon terhadap akibat-akibat yang sudah diramalkan
sebelumnya berbeda dengan respon yang diakibatkan misalnya ketukan pada lutut.
Dalam kaitan ini sesungguhnya jiwa ialah respon yang telah diramalkan
sebelumnya. Menurut Krikorian ada tiga matra (fungsi atau corak kegiatan)
respon yang telah diramalkan sebelumnya: (1) kemampuan menggunakan sarana dalam
mencapai tujuan, yaitu daya pemahaman atau kemampuan memperoleh pengetahuan,
(2) kemampuan mengejar tujuan yang telah dibayangkan, yakni kemampuan
berkehendak atau menaruh perhatian, dan (3) kemampuan memperoleh pengetahuan
mengenai jiwa, yaitu kesadaran.
Louis O. Kattsoff tidak memandang jiwa sebagai sesuatu yang khusus
atau merupakan sesuatu proses atau yang lainnya. Namun demikian, apapun hakikat
jiwa itu, sudah pasti ada kaitannya dengan jenis-jenis proses tertentu, sebab
yang dinamakan jiwa itu ialah sesuatu yang orang lain tidak dapat
menunjukkannya. Tidak ada seorangpun yang pernah atau dapat melihat jiwa,
kecuali apabila jiwa itu diberi arti sama dengan benak atau daya fikir dan
sebagainya. Selanjutnya Kattsoff mengatakan bahwa ada dua proses kejiwaan,
yaitu proses konatif dan proses kognitif. Proses-proses konatif
meliputi proses yang bersumber pada perasaan, kehendak dan dorongan hati
(proses yang dapat menggerakkan seseorang). Para ahli ilmu pada umumnya
mengatakan bahwa proses-proses tersebut erat hubungannya dan sederajat dengan
proses kimiawi dalam tubuh manusia. Adapun proses kognitif proses kejiwaan yang
berhubungan dengan cara memperoleh pengetahuan, seperti berfikir,
mgningat-ingat, serta melakukan penalaran dan pencerapan (perhatian).
Kegiatan konatif dan kegiatan kognitif itu berbeda, namun umumnya
dapat dikatakan bahwa keduanya saling berhubungan. Umpamanya, pengaruh emosi
terhadap masalah pengetahuan jelas nampak pada kesaksian-kesaksian yang
diberikan seorang saksi. Seorang hakim secara pribadi terlihat dalam suatu
perkara yang harus diputuskannya tidak layak untuk bertindak sebagai hakim.
Sebaliknya bisa saja terjadi bahwa pengetahuan dapat mempengaruhi perasaan,
seperti seorang yang mempunyai pengetahuan bahwa kemarahan dapat mengganggu
proses pencernaan makanan tidak akan membiarkan dirinya menjadi marah. Seseorang yang mengetahui bahwa prajurit yang
tidak bringas akan bertempur dengan lebih mahir, dapat menjadikan dia sendiri
akan berusaha keras untuk tetap tenang dalam suatu peperangan.
Dalam membicarakan masalah hubungan antara jiwa dan raga, ada
beberapa hal menonjol dari uraian tersebut, terdapat persoalan yang harus
diselesaikan, yaitu apakah jiwa merupakan fungsi raga atau raga merupakan
fingsi jiwa, atau apakah jiwa dan raga merupakan bagian dari suatu jenis ketiga
?. Di antara kemungkinan yang pertama dianut oleh idealisme, yang kedua
dianut oleh materalisme dan yang ketiga dianut oleh monisme netral.
Ada sejumlah istilah yang acap kali dihubungkan dengan penyelesaian masalah
hubungan jiwa dan raga tersebut, yaitu :
a) Epifenomnalisme. Paham
ini mengatakan bahwa satu-satunya unsure yang didapati apabila menyelidiki
proses kejiwaan ialah syaraf. Kesadaran manusia sekedar merupakan hasil dari
proses syaraf. Hal itu diibaratkan seperti hubungan nyala cahaya dngan panasnya
pijat bola lampu listrik. Kalimat jiwa
merupakan proses-proses syaraf dengan jiwa
merupakan hasil sampingan dari proses syaraf berbeda makna. Ini sama dengan
bedanya kalimat cahaya itu listrik
dan cahaya merupakan akibat dari arus
listrik.
b) Interaksionisme.
Paham ini mengatakan bahwa jiwa dan raga memang berbeda, namun yang satu
mempengaruhi yang lain secara timbal baik. Teori yang mendasarkan diri atas
akal sehat, sebagian besar menyetujui paham ini. Descartes beranggapan bahwa
hakikat jiwa adalah pemikiran sedangkan hakikat materi adalah eksistensi.
Walaupun yang satu berbeda dengan yang lain tapi keduanya saling mempengaruhi.
c) Paralelisme
Psikofisik, yang mengatakan bahwa ada dua macam sistem kejadian, yang bersifat
ragawi dan yang bersifat kejiwaan. Sistem kejadian ragawi terdapat pada alam
sedangkan kejadian kejiwaan terdapat pada jiwa manusia. Kedua sistem kejadian
ini tidak ada hubungan kausalitas. Menurut ajaran Spinoza dalam bukunya Etika
bahwa antara kejadian yang terdapat dalam kedua sistem itu nampak saling
hubungan, sederajat dan berpasang-pasangan, maka tanmpaknya terjadi suatu
interaksi dari keduanya. Bagaaimana cara terjadinya paralelisme tersebut,
menurutnya adalah memang sudah dibuat oleh Tuhan.
Menurut Pythagoras keabadian
jiwa manusia dan perpindahannya ke dalam jasad hewan apabila mereka telah mati,
dan jika hewan itu mati akan berpindah lagi ke jasad lainnya, demikian
seterusnya. Perpindahan jiwa yang demikian itu merupakan suatu proses penyucian
jiwa. Jiwa itu akan kembali ke tempat asalnya di langit apabila proese
penyucian telah selesai. Untuk membebaskan jiwa dari perpindahan itu, manausia
harus berpantang terhadap jenis makanan tertentu, taat terhadap
peraturan-peraturan yang berlaku dalam lingkungan persekutuan pythagorean serta
bermusik dan berfilsafat.
Demokritos (460-370 SM)
mengajarkan bahwa manusia adalah materi. Jiwa pun materi yang terdiri dari
atom-atom khusus yang bundar, halus dan licin, oleh sebab itu tidak saling
mengait satu sama lain. Dengan demikiran atom jiwa gampang menempatkan diri di
antara atom-atom lainnya dan menyebar ke seluruh tubuh manusia. Sementara Plato
(428-348 SM) mengajarkan bahwa manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Tubuh
merupakan musuh jiwa. Karena tubuh penuh dengan berbagai kejahatan dan jiwa
berada di dalamnya, maka tubuh menjadi penjara bagi jiwa. Jiwa manusia terdiri
dari tiga bagian, yaitu nous (akal), thumos (semangat) dan ephitumia (nafsu). Karena pengaruh
nafsu, jiwa manusia terpenjara dalam tubuh.
Aristoteles (384-322 SM)
menyatakan bahwa manusia merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Tubuh
dan jiwa hanya merupakan dua segi dari manusia yang satu. Tubuh adalah materi
dan jiwa adalah bentuk. Manusia merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan,
maka konsekwensinya adalah pada saat manusia mati, tubuh dan jiwa sama-sama
mati. Ini berarti bahwa jiwa manusia tidak kekal abadi. Dengan kata lain, sama
sekali tidak ada kehidupan sesudah kematian. Kematian adalah akhir dari segala-galanya.
Sedangkan dualisme Descartes (1596-1650) menegaskan bahwa tubuh dan jiwa adalah
dua hal yang sangat berbeda dan harus dipisahkan. Tubuh adalah suatu mesin yang
terdiri dari bagian-bagiannya yang begitu kompleks. Adapun jiwa adalah sesuatu
yang tidak terbagi, tidak terbatasi oleh ruang dan waktu, ditandai oleh
kegiatan rohani, seperti berfikir, berkehendak dan sebagaianya. Kendati berbeda
dan terpisah, tubuh dan jiwa itu memiliki pertautan yang erat satu sama
lainnya, bagaikan kapal dan juru mudinya.
Goerge Berkeley (1685-1753) berpendapat bahwa jiwa
manusia adalah pusat segala realitas yang nampak. Penolakannya terhadap materi
menunjukkan bahwa Berkeley adalah seorang spritualis. Akan tetapi, idealisme
subyektif spritualis Berkeley tidak berpangkal pada yang abstrak, melainkan
pada yang konkret, yang diperoleh lewat pengamatan inderawi. Sesuatu itu
dikatakan ada karena dapat dilihat dan dirasakan. Jadi, kebenaran sesuatu itu
tergantung pada yang melihat dan yang merasa. Yang melihat dan yang merasa itu
adalah yang hadir dalam tubuh manusia, yaitu roh. Tubuh tidak lebih dari tanda
kehadiran roh. Sebaliknya, Feuerbach (seorang materialis yang menyangkal
segi rohani manusia) mengajarkan bahwa di balik alam tidak ada Tuhan. Demikian
pula di balik tubuh tidak ada jiwa. Feuerbach sendiri tidak mau menyebutkan
ajarannya sebagai materialisme, melainkan organisme.
Dia menyatakan bahwa manusia bukan mesin seperti yang diajarkan oleh
materialisme. Feuerbach menolak materialisme dengan mengajarkan bahwa manusia
adalah makhluk hidup yang organis,
oleh karenanya mereka selalu berhubungan secara konkret dengan sesamanya (jan
Hendrik Rapar, 2001 : 50-51).
Kemajuan ilmu jiwa (psikologi) dan ilmu kedokteran dewasa ini
menunjukkan bahwa jiwa berpengaruh terhadap raga. Proses-proses kejiwaan
mempengaruhi proses yang semata-mata bersifat ragawi. Begitulah emosi berpengaruh
terhadap pencernaan makanan dan amarah menimbulkan kegiatan-kegiatan kelenjar.
Suara musik dapat menggerakkan emosi; sementara itu kurang makan yang
berkepanjangan akan mengakibatkan mundurnya hasrat seksual. Juga telah
diketahui bahwa derajat kesembuhan dalam sejumlah penyakit tertentu dapat
dipengaruhi oleh sikap kejiwaan dari mereka yang sakit. Bahkan ada bukti yang
menunjukkan bahwa derajat pertumbuhan ragawi seorang anak tergantung pada
suasana emosional di mana ia hidup. Penyelidikan juga banyak dilakukan dalam
upaya menarik suatu hubungan antara kualitas fisik dengan sifat kejiwaan
seseorang. Kita juga mengetahui bahwa ada hubungan yang sangat erat antara
gangguan-gangguan pada kelenjar dengan pertumbuhan seseorang. Penyelidikan
mengenai hubungan antara jiwa dengan raga itu dalam istilah ilmuan modern
disebut “Psikosomatika”. Dengan demikian cukup jelas bahwa jiwa dan raga
memang bertautan dalam batas-batas tertentu.
2.2. Manusia Sebagai Makhluk Berfikir
Berbeda dengan makhluk lain,
manusia mempunyai ciri istimewa yaitu kemampuan berfikir yang ada dalam satu
struktur dengan perasaan dan kehendak. Aristoteles memberikan identitas kepada
manusia sebagai “animal rationale”,
yakni binatang berfikir. Lalu apa yang dipikirkan?, mengapa harus berfikir?,
bagaimana pemikirannya itu? dan untuk apa dia berfikir?.
Mengenai apa yang dipikirkan
adalah terpusat pada diri sendiri, dalam hal asal mulanya, keberadaannya dan
tujuan akhir hidupnya. Pada saat manusia masih kecil, ia baru bisa melihat dan mengenal
apa yang ada di sekelilingnya secara reseptif, seperti makanan, minuman,
pakaian, dan benda-benda lainnya. Selanjutnya ia mengenal ayah dan ibunya,
saudaranya dan orang lain dalam hubungan yang semakin jauh. Selanjutnya, berkat
perkembangan alam pikiran dan kesadarannya, ia mulai mengenal makna sesuatu itu
secara kritis, yang kemudian fungsi
dan keterikatan antara satu dengan yang lainnya. Akhirnya sesensi dan
eksistensi setiap hal itu menjadi semakin jelas. Pengenalannya itu kemudian
berkembang menjadi semakin kreatif.
Dalam keadaan seperti itu manusia sudah bisa mengadakan makanan, minuman dan
barang-barang kebutuhan yang lain dengan memanfaatkan sumber daya alam
sekitarnya bahkan sudah mulai bisa menciptakan kelompok-kelompok sosial yang
baru.
Dengan pemikiran yang kritis
dan kreatif tersebut, manusia mulai memikirkan dirinya sendiri, yakni
hakikatnya sebagai manusia. Dari pemahaman tentang hakikat pribadinya ini,
manusia lalu sadar akan adanya berbagai macam persoalan hidup yang justru
bersumber dari kebutuhan dan kepentingan yang harus dipenuhi oleh setiap unsur
hakikat pribadinya itu. Kemudian dia sadar pula akan perlunya pemecahan
berbagai masalah atau persoalan tersebut demi tercapainya tujuan hidupnya.
Untuk itu dia berusaha meningkatkan kualitas pemikirannya dari yang mistis-religius menuju ke ontologis-kefilsafatan sampai kepada
tarap yang paling konkret-fungsional
(Suparlan Suhartono, 2004 : 39).
Pemikiran yang mistis-religius – yang berarti juga
pemikrian resepti – adalah menerima segala sesuatu sebagai kondrat Tuhan, yang
manusia tidak mungkin dan tidak perlu mengubah-nya. Misalnya jika seorang
nelayan kembali dengan perahu kosong, hal ini tidak perlu menjadi suatu derita,
akrena Tuhan memang menghendaki demikian, dan dia harus menerima adanya. Adapun
pemikiran yang konkret-fungsional
(teknologis) bermakna bahwa dalam pemikiran itu mengandung suatu terobosan
baru, yaitu adanya kreativitas penciptaan teknologi yang sedemi-kian rupa
sehingga orang tidak harus mengikuti hukum alam, melainkan justru bagaimana hukum alam itu bisa dilampaui. Dengan
demikian, para nelayan tidak harus bergantung kepada arah angin, karena dengan
pemikiran yang konkret-fungsional ini nelayan bisa menggunakan perangkat
teknologi berupa perahu bermotor yang lengkap peralatannya, sehingga mereka
lebih produktif lagi.
Pemikiran yang
konkret-fungsional (teknologis) ini sudah berkembang sampai ke taraf sosial
budaya. Jalinan hubungan dengan sesama manusia telah berubah menjadi praktis,
pragmatis dan serba terbatas menurut tingkat keperluan minimal. Nilai kegunaan
bagi diri pribadi sudah menjadi ukuran utama. Dari pola pemikiran itu, yang
sebenarnya saudara bisa menjadi orang lain dan orang lain bisa menjadi saudara,
tergantung kepada seberapa besar manfaat yang dapat diperoleh. Komunikasi
dengan orangtua misalnya, cukup dengan pesawat telepon saja, karena waktu
luangnya lebih banyak dipergunakan untuk keperluan yang lebih menguntungkan.
Orang sudah tidak peduli lagi siapa pemimpinnya, apakah keturunan dewata atau
manusia biasa, yang paling penting adalah bisa memberikan manfaat bagi dirinya.
Masyarakat sudah tidak dipandang sebagai tujuan, malainkan alat bagi
tujuan-tujuan individual. Oleh karena itu berbagai rekayasa sistem sosial
dikembangkan secara radikal demi kemudahan tercapainya tujuan individual
tersebut. Masyarakat dirombak, dibangun dan dipacu ke arah berbagai
produktivitas yang bermanfaat secar praktis dan pragmatis.
Demikian pula terhadap
dirinya sendiri, manusia mulai bersikap teknis, sudah mulai memfungsikan diri
sepragmatis mungkin demi dirinya sendiri. Untuk itu ia mengatur dirinya menurut
jadwal yang ketat dalam catatan hariannya, dan berusaha semaksimal mungkin
untuk memenuhinya. Intuisi, perasaan dan kehendaknya ditekan dan hanya
mengikuti berbagai pikiran rasional belaka. Tatacara makan, minum dan
berpakaian sudah ditinggalkan, dan hanya mengutamakan segi kesehatan belaka.
Tatacara berbicara dan bertingkah laku sudah beralih menjadi semakin praktis
dan sedapt mungkin cepat dimengerti, seolah tidak memerlukan aturan atau etika
lagi. Bahkan bagaimana manusia harus berhubugan Tuhan juga sudah diwarnai oleh
pemikiran konkret-fungsional (teknologis) ini. Sholat dan ibadah lainnya tidak
lagi dilakukan karena panggilan hati nurani (agama) melainkan karena
perhitungan-perhitungan rasional, misalnya untuk memperoleh kewibaan, simpati,
sanjungan, penghargaan dari masyarakat dan sebagainya. Agama tidak lagi tumbuh
dan berkembang di dan dari dalam dada, melainkan sebagai dekorasi badan agar
orang lain selalu menghormati dirinya.
Dengan demikian perkembangan
pemikiran manusia yang semakin fungsional-teknologis itu sudah mulai
memperlihatkan bahaya-bahayanya. Dari sekarang, orang seharusnya mulai sadar
bahwa pemikiran-pemikrian ontologis-kefilsafatan dan mitodologis-keagamaan
bukannya sama sekali tidak berguna, melainkan perlu dipertimbangkan nilai-nilai
minimalnya sehingga mampu meluruskan pembelokan-pembelokan pemikiran yang
fungsional-teknologis itu. Perlu diingat bahwa sebenarnya ketiga corak
pemikiran itu ada bersama-sama dalam satu sistem watak dinamika pemikiran
manusia, karena ketiga corak pemikrian itu berada dalam hubungan sebab akibat,
maka tidaklah mungkin suatu sebab tanpa akibat tertentu dan akibat tanpa sebab
tertentu. Dalam segala macam jenis dan bentuk pemikiran pasti mengandung ketiga
sifat pemikrian (mistis-religius, ontologis-kefilsafatan dan
konkret-fungsional) tersebut. Karena itu pemikiran boleh berkembang
sefungsional mungkin, tetapi tidak harus meninggalkan sama sekali watak
ontologis dan yang mitologis-keagamaan itu.
Jadi, mengapa dan untuk apa
manusia berpikir sedemikian?. Jawaban yang pasti adalah untuk mencapai tujuan
hidupnya. Adapun tujuan hidup manusia itu ada yang langsung dan ada yang tidak
langsung. Yang langsung adalah tujuan yang harus dipenuhi selama hidupnya di
dunia ini, seperti kecukupan makan, minum, sandang, perumahan dan segala
peralatan hidup.
3. Masalah
Alam
Dalam arti luas, yang dinamakan alam adalah hal-hal atau sesuatu
yang ada di sekitar kita dan yang dapat diserap secara inderawi. Secara lebih
cermat, istilah “alam” dapat dipakai untuk menunjuk lingkungan obyek-obyek yang
terdapat dalam ruang dan waktu. Tetapi pada aneka zaman pandangan orang
mengenai alam dapat berbeda-beda. Berikut di antara beberapa pandangan manusia
terhadap alam.[20][20]
3.1. Pandangan Para Filsuf Yunani Kuno
Para tokoh filsafat masa Yunani kuno yang menaruh perhatian
sekaligus mempermasalahkan alam adalah Thales (630–546 SM), Anaximander
(pertengahan abad 6 SM), Anaximenes (550 SM), Plato (427–347 SM) dan
Aristoteles (384–322 SM). Yang menjadi persoalan mereka adalah “apakah
substansi asli dari alam dengan berbagai perubahannya itu, darimana asal usul
alam dan zat apa yang menjadi dasarnya?. Thales mengatakan bahwa itu semua
adalah air, sementara Anaximandres mengataka udara, dan menurut
Anaximenes berasal dari apeiron (sesuatu yang tidak terbagi atau setara
dengan Tuhan), sedangkan Empidokles berpendapat bahwa alam terdiri dari empat
unsur pokok yakni air, udara, api dan tanah. Plato dan
Aristoteles mengemukakan pendapat yang sudah sampai pada pemikiran mengenai
suatu realitas di luar alam, yaitu zat yang berbeda dengan alam, bersifat
immateri, abadi, esa dan sempurna. Plato menyebut zat itu Idea Kebaikan
dan Aristoteles menamakan Sebab Utama atau Penggerak Yang Tidak
Bergerak.[21][21]
Plato mengatakan bahwa dunia atau alam ini diciptakan menurut
suatu bentuk tertentu yang bersifat abadi dan tidak berubah. Maksudnya,
bentuk-bentuk tersebut merupakan salah satu di antara unsur-unsur terdalam yang
menyebabkan terciptanya dunia. Sungguhpun demikian, dunia atau alam ini tidak
hanya tercipta oleh bentuk-bentuk belaka melainkan juga memasukkannya ke
dalam sesuatu yang telah sama-sama ada, yang oleh Plato dinamakan wadah
atau dalam istilah lain ruang. Dengan demikian pada dasarnya alam ini
terbuat dari Ruang dan Bentuk. Kemudian, Aristoteles dalam teori
atau ajaran mengenai kosmologi (yang masih erat hubungannya dengan kosmologi
ajaran Plato) tidak membahas masalah penciptaan, melainkan memberikan gambaran
mengenai apakah yang dinamakan kenyataan. Hal-hal yang bersifat nyata
dan yang sungguh-sungguh bereksistensi o;eh Aristoteles dinamakan substansi.
Bagi Aristoteles istilah “alam” menunjuk kepada prinsip pertumbuhan, pengaturan
dan gerakan yang terdapat dalam segala hal atau sesuatu. Oleh karena itu
sesuatu hal dapat dikatakan alami apabila telah memiliki prinsip semacam itu.
Dengan demikian alam kodrat merupakan suatu keadaan yang di dalamnya senantiasa
terjadi perubahan-perubahan melalui cara tertentu. Dengan kata lain bahwa
perubahan-perubahan yang terjadi dalam alam kodrat pada dasarnya bersifat teleologis
(berarah tujuan). Dan yang menjadi ciri khas alam kodrat bukanlah keadaannya
yang tetap mealinkan gerakan, karena alam kodrat senantiasa mengalami perubahan
dan pertumbuhan, yang senantiasa terarah kepada suatu tujuan tertentu. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa alam kodrat terkena hukum perkembangan, dan bukan
sekedar merupakan hasil proses mekanis.[22][22]
Pandangan Pada Masa Renassance
Para filsuf di masa renaissance (zaman modern) ini dapat
disebukan antara lain adalah Copernicus (1473-1543), Bruno (1658-1600), Kapler
(157101639), Galileo (1564-1641) dan Newton (1642-1727). Hasil terakhir dari
karya-karya mereka adalah penolakan atas gagasan mengenai alam yang digambarkan
sebagai organisme yang berhingga dan yang teleologis, mereka memandang alam
sebagai sesuatu yang tidak berhingga yang menyerupai mesin (mekanik) dan tidak
berjiwa.
Dengan menetapkan berlakunya teori heliosentris
(matahari merupakan pusat gerakan planet-planet), Copernicus secara tidak
langsung menunjukkan bahwa segenap bagian dari angkasa sesungguhnya mempunyai
kualitas yang sama. Tidak terdapat perbedaan kualitas antara bumi dengan
benda-benda angkasa, dan hukum-hukum gerakan berlaku di mana saja dalam
lingkungan alam semesta. Sementara Bruno memahamkan alam semesta sebagai
sesuatu yang tidak berhingga, yang terhampar secara tidak menentu di dalam
ruang dan membayangkan adanya manusia-manusia yang mendiami dunia yang tidak
terhitung jumlahnya, yang kesemuaanya itu bergerak berdaarkan hukum-hukum yang
sama. Sedangkan Kepler dalam hal ini menolak ajaran gerakan alami, dan
menampilkan prinsip kelambanan yaitu prinsip yang mengatakan bahwa sebuah benda
cenderung untuk diam atau bergerak di tempat ia berada, kecuali apabila ia
dipengaruhi oleh suatu benda yang lain yang terdapat di sekitarnya. Kepler
mengajarkan tentang tenaga mekanis yang menghasilkan perubahan-perubahan
kuantitatif. Adapun Galileo mengembalikan segala sesuatu kepada
pengertian-pengertian matematik. Alam hendaknya diselidiki dengan jalan
menggunakan matematika, karena segenap kenyataan pasti bersifat kuantitatif dan
dapat diukur. Yang dinamakn kualitas-kualitas sesungguhnya merupakan sekedar
bagian lahiriyah yang menampak pada barang sesuatu, yang dihasilkan dalam diri
kita oleh proses yang terdapat dalam benda-benda alami yang kemudian ditangkap
oleh alat-alat inderawi. Pada akhirnya Newton merangkum segenap pandangan
tersebut dan menyusun buku yang berjudul The Mathematical Principles of
Natural Philosophy. Menurut Newton alam merupakan sebuah mesin besar yang
berjalan sesuai dengan hukum-hukum gerakan dan segenap proses yang terdapat di
dalamnya ditentukan oleh massa, posisi dan kecepatan yang dimiliki oleh
partikel-partikel materi yang terdapat di dalamnya. Materi ini bersifat mati,
dalam arti hanya mempunyai sifat-sifat kuantitatif dan terdapat dalam dunia
yang bersifat tidak berhingga yang ciri pokoknya adalah adanya gerakan.[23][23]
Karena hasil terakhir pada masa renaissance berpendapat bahwa
alam merupakan mekanisme, maka pertanyaannya adalah apakah yang dimaksud dengan mekanisme tersebut?. Jika orang
mengatakan bahwa arloji merupakan mekanisme yang rumit atau bahwa mobil
merupakan mesin, maka ini berarti karena arloji itu berjalan sesuai dengan
prinsip-prinsip mekanika dan mesin mobil berfungsi sebagai mekanisme. Jadi, apa
yang tidak berjalan sesuati dengan prinsip tersebut bukanlah mekanisme. Lonceng
listrik merupakan mekanisme, tapi meja yang dipakai untuk menulis sama sekali
bukan mesin. Lalu apakah mesin itu ?.
Kamus Webster memberikan definisi bahwa mesin adalah
sebuah alat yang terdiri dari dua bagian atau lebih yang berada dalam hubungan
saling menekan, yang dapat digunakan untuk mengalihkan serta mengubah tenaga
dan gerakan begitu rupa sehingga dapat menghasilkan suatu fungsi yang
dikehendaki oleh manusia. Sedangkan mekanisme adalah sebagai keseluruhan
bagian dari mesin. Pengertian umum yang melekat pada istilah mekanisme (atau
mesin) adalah sesuatu yang berjalan menurut hukum-hukum tertentu. Dengan
demikian maka apabila dikatakan bahwa dunia sebagai mesin berarti hukum-hukum
mekanika berlaku bagi dunia, atau lebih tepat bahwa segenap proses yang
terdapat di dunia dapat diterangkan dengan menggunakan hukum-hukum mekanika.
ALIRAN-ALIRAN
DALAM FILSAFAT
Sejarah
perkembangan filsafar berkembang atas dasar pemikiran kefilsafatan yang telah
dibangun sejak abad ke 6 SM. Ada dua orang filsuf yang corak pemikirannya boleh
dikatakan mewarnai diskusi-diskusi filsafat sepanjang sejarah perkembangannnya,
yaitu Herakleitos (535-475 SM) dan Parmenides (540-475 SM). Menurut Herakleitos, realitas ini berupa gerakan, perubahan dan keadaan yang serba menjadi.
Semuanya serba mengalir (pantarhei).
Di dalam sejarah perkembangan filsafat, paham atau aliran ini disebut tobecome (filsafat menjadi). Kemudian,
pandangannya itu menjadi pedoman bagi pengetahuan yang benar atau kebenaran, di
mana pancaindera menjadi ukuran. Jadi, apa yang ditangkap indera, yaitu yang
konkret, yang satu persatu, yang selalu berubah dan menjadi adalah benar.
Sementara
Parmenides berpendapat sebaliknya, bahwa meskipun pengetahuan indera diakui
adanya atau eksistensinya, tetapi ia tidak mau mengakui kebenaran yang
dicapainya. Sebab seringkali orang tertipu oeh kesaksian indera. Dalam
kenyataan konkret, kita sering menyaksikan peristiwa-peristiwa alam seperti
ilusi, halunisasi, fatamorgana, gema dan sebagainya. Oleh karena itu Parmenides
mengidentifikasikan pengetahuan menjadi dua jenis : a) pengetahuan semu,
yakni pengetahuan seperti yang diperoleh pancaindera dan b) pengetahuan sejati,
yaitu pengetahuan yang dicapai oleh kemampuan akal budi. Menurutnya,
pengetahuan sejati inilah yang benar adanya. Karena pengetahuan akal budi
mempunyai sifat yang tetap dan umum (universal) maka realitas ini bukannya
menjadi, melainkan yang ada. Yang ada itu merupakan satu keutuhan, bukan
pluralitas yang dapat dibagi-bagi. Paham pemikiran Parmenides ini sungguh
bertentangan secara mutlak dengan paham Herkleitos.
Pada
perkembangan selanjutnya dari kedua aliran utama tersebut muncul berbagai
aliran filsafat yang berusaha menanggapi dan mengembangkannya.
Aliran-aliran tersebut adalah :
1. Idea 1.
Idealisme : Plato (427-347 SM)
Pada
zaman Plato masih hidup, masalah yang paling populer adalah apakah hakikat
realitas itu tetap (pendapat Parmenides) ataukah
menjadi ([endapat Herkleitos) ?. Plato
mengemukakan pendapatnya sebagai bentuk penyelesaian, yaitu : “yang tetap” itu
dapat dikenal melalui akal budi, sedangkan “yang menjadi” dikenal dengan
pengalaman. Di dalam pengalaman hidup sehari-hari, kita mengenal banyak jenis
manusia, ada yang lelaki dan ada yang perempuan. Kelelakian dan keperempuannya
pun berbeda-beda pula. Tetapi dunia akal budi (idea) hanya mengenal satu manusia saja, yang bersifat tetap dan
tidak berubah. Dunia pengalaman disbut sebagai “dunia semu” atau “dunia
bayang-bayang”. Sedangkan dunia idea
(akal budi) disebut sebagai “dunia asli” atau dunia yang sesungguhnya. Jadi,
manusia yang kita saksikan melalui pengalaman ini yang jumlah dan jenisnya
beraneka ragam merupakan bayang-bayang dari manusia yang hanya ada satu di
dunia idea itu. Sedangkan mengenai
pertanyaan “mengapa manusia yang beraneka ragam itu ada” hal ini disebabkan
karena perbedaan tentang caranya menjadi bayang-bayang itu.
Melalui
pancaindera kita bisa mengenal manusia yang beranekaragam ini. Kemudian
persoalan-nya adalah bagaimana kita dapat mengenal dunia idea sebagai realitas yang sesungguhnya? Plato berpendapat bahwa
sebelum ada di dunia pengalaman ini, manusia berada di dunia idea. Setalah berkumpul dengan badan,
maka bertemulah ia dengan bayang-bayang yang berasal dari dunia idea
(bayang-bayang sendiri). Dari pertemuan itu, ia teringat bahwa sebenarnya ia
pernah mengenalnya. Jadi dengan jalan mengingat maka dunia idea itu dapat dikenal. Berdasarkan pandangannya itu, Plato sampai
kepada ajaran etika. Dia mengajarkan dalam etika bahwa siapa pun manusia itu
harus mampu mencapai pemahaman tentang dunia idea. Disebutkan bahwa idea
tertinggi adalah idea kebaikan. Dengan pemahaman tentang idea kebaikan ini,
maka kebahagiaan hidup dapat diharapkan. Orang dapat mencapai pemahaman idea
kebaikan bila mampu menyelami dunia pengalaman. Inilah yang kemudian dikenal
sebagai ajaran mengenal diri sendiri.
2. Realisme :
Aristoteles (384-322 SM)
Berbeda
dengan Plato, Aritoteles lebih menerima yang serba berubah dan menjadi, yang
beraneka ragam, yang semuanya ada di dalam dunia pengalaman, sebagai realitas
yang sesungguhnya. Itulah sebabnya mengapa pandangan Aristoteles disebut
sebagai realisme. Dia mengatakan
bahwa setiap hal atau benda tersusun dari hule
dan morfe, yang kemudian dikenal
dengan “teori hulemorfistik”. Hule adalah dasar permacam-macaman.
Karena hule-nya maka suatu benda
adalah benda itu sendiri atau benda tertentu. Misalnya si A bukan si B karena hule-nya. Sedangkan morfe adalah dasar kesatuan yang menajdi inti dari segala sesuatu.
Karena morfe-nya maka segala sesuatu
itu sama dengan yang lain (satu inti) masuk ke dalam satu jenis yang sama. Morfe ini berbeda dengan hule, dan hanya dapat dikenal dengan
akal budi saja. Mislanya Ali, Ani dan Ahmad yang berbeda-beda itu berada di
salam morfe yang sama, yaitu sebagai manusia. Namun demikian, baik hule maupun
morfe merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dengan hule-nya segala
sesuatu itu wujud dalam realitas dan karena morfe-nya segala sesuatu itu
mengandung arti hakikat sebagai sesuatu.
Pandangan
hulemorfisme Aristoteles itu sejalan
dengan teori aktus dan potensia-nya. Aktus adalah dasar kesungguhan sedangkan potensi adalah dasar kemungkinan. Segala sesuatu itu
sungguh-sungguh karena aktus-nya dan
mungkin (mengalami perubahan dinamis) karena potensi-nya. Jadi jika dipakai untuk memahami sesuatu yang konkret
maka hule merupakan potensinya, dan morfe adalah aktusnya.
Segala macam perubahan dan perkembangan (permacam-macaman atau keanekaragaman)
ini terjadi karena hule yang mengandung potensi dinamis yang bergerak menuju ke
bentuk-bentuk aktus yang murni. Sedangkan aktus
murni itu tidak mengandung potensi apa-apa, jadi bersifat tetap, tidak
berubah-ubah dan abadi.
Untuk
mengetahui makna hakikat setiap sesuatu maka Aristoteles mengembangkan teori
pengetahuan dengan menempuh jalan dengan “metode
abstraksi’. Menurutnya, pengetahuan itu ada dua jenis, yaitu pengetahuan indera dan pengetahuan budi. Pengetahuan indera
bertujuan untuk mencapai pengenalan tentang hal-hal konkret yang bermacam-macam
dan serba berubah. Adapun pengetahuan budi bertujuan untuk mencpai sesuatu yang
abstrak, umum dan tetap (abadi), dan inilah yang kemudian oleh dia disebut
sebagai ilmu pengetahuan.
Antara
kedua jenis pengetahuan tersebut ada satu kesatuan struktural. Obyek
pengetahuan itu bermacam-macam dan bersifat konkret. Karena itu selalu berada
di dalam perubahan-perubahan dan perbedaan-perbedaan. Obyek yang demikian itu
dikenal oleh indera, untuk kemudian diolah oleh akal budi. Akal budi bertugas
mencari ide yang sama yang terkandung di dalam keanekaragaman itu sebagai
pengetahuan yang macamnya hanya satu dan karena itu bersifat umum, tetap dan
abstrak. Ide yang merupakan
pengertian umum ada bersama-sama dengan macam-macam hal yang konkret. Jadi idea
itu ada di dalam realitas konkret. Misalnya, di dalam realitas konkret ada
bermacam-macam manusia, di dalamnya terkandung kesamaan sebagai manusia, yaitu idea manusia. Oleh sebab itu Aristoteles
berbeda dengan Plato. Aristoteles menerima baik permacam-macaman maupun idea
kesamaan itu sebagai hal yang realistik adanya, sedangkan Plato menolak
permcaman itu sebagai kebenaran (yang bermacam-macam itu semu atau bayangan) dan
menerima dunia idea sebagai kebenaran satu-satunya.
3. Stoisisme : Zeno (300 SM)
Konon,
tempat Zeno (300 SM) memberikan pelajaran kepada murid-muridnya adalah di
sebuah serambi bertiang bernama Stao.
Menurut Zeno alam semesta ini berintikan logos atau rasio. Logos ini menentukan
seluruh kejadian dunia yang berlangsung menurut ketetapan yang pasti (tidak
dapat dielakkan). Agar manusia dapat hidup bahagia, maka seluruh tindakannya
harus didasarkan kepada kemampuan rasionya. Dengan rasio, manusia dapat
mengenal tatanan universal alam semesta. Dengan demikian, manusia akan dapat
mengendalikan hawa nafsunya. Untuk dapat mengendalikan hawa nafsu, orang harus
memahami dan menyadari dirinya sendiri bahwa diri manusia itu berada sepenuhnya
di bawah hukum alam. Ajaran Zeno dapat disistematiskan sebagai “sebidang kebun” (filsafat), tanahnya
merupakan “fisika”, pagarnya adalah “logika” dan buahnya adalah “etika”.
4. Epikurisme : Epikuros (341-279
SM)
Mirip
dengan Stoisisme, epikurisme juga menekankan ajarannya pada ajaran etika. Orang
harus hidup bijaksana dan bahagia. Untuk itu, manusia harus mengakui susunan
dunia, tidak perlu takut mati, harus menggunakan kehendak yang bebas dan
mencari kesenangan sebanyak mungkin. Tetapi jika terlalu banyak kesenangan itu
akan membuat sengsara. Oleh karena itu orang perlu membatasi diri dengan
mengutamakan kesenagan batin.
5. Neo-Platonisme : Plotinus
(205-270 M)
Aliran
ini mencoba menghidupkan kembali paham filsafat lainnya. Neo-Platonisme
termasuk aliran yang bersifat monistik.
Paham ini mengatakan bahwa semuanya ini berasal dari “yang satu” (Tuhan) dan
semuanya ini cenderung akan kembali kepada-Nya. Antara “yang satu” dengan
semuanya ini merupakan satu kesatuan. Pada hakikatnya keduanya adalah satu dan
sama. Dengan kata lain, segala sesuatu ini berhakikat Tuhan, semuanya ini
merupakan pancaran Tuhan. Karena itu ajaran Plotinus disebut sebagai yang
bersifat panteistik (serba Tuhan).
6. Skolastisisme
Skolastisisme
merupakan aliran filsafat yang mulai muncul di Eropa pada sekitar abad ke 5
sampai ke 13. Munculnya aliran ini sebagai akibat dari ditutupnya pendidikan
kefilsafatan aliran Yunani kuno. Sementara itu agama Kristen tampil sebagai
pengganti kesenjangan kehidupan ruhani. Tetapi pada kenyataannya, agama Kristen
tidak sama sekali meninggalkan nilai-nilai kefilsafatan Yunani kuno, bahkan
lahirlah suatu perguruan yang di samping mengajarkan nilai-nilai agama juga
mengajarkan nilai-nilai kefilsafatan. Dari perguruan inilah lahir aliran
kefilsafatan scholastic.
Skolastisisme
mengembangkan ajaran filsafat berdasarkan nilai-nilai agama Kristiani. Antara
kemampuan akal budi dan kebenaran wahyu tidak dipertentangkan, sebab jika akal
budi secara terus menerus dan konsisten, intensif dan efektif didayagunakan,
maka pada akhirnya pasti akan sampai juga pada kebenaran mutlak, seperti yang
dijelaskan oleh wahyu. Jadi, bolehlah dikatakan bahwa pemikrian kefilsafatan
gaya skolastik ini di bawah penerangan wahyu atau agama.Perkembangan
skolastisisme ini didukung oleh tokoh-tokoh antara lain : Anselmus (1033-1109),
Abaelardus (1079-1143), Albertus Magnus (1203-1280)
dan Thomas Aquinas (1225-1274). Yang terakhir ini adalah yang paling populer, sehingga melahirkan aliran
bernama Thomisme. Dan dia terkenal karena kemiripannya dengan filsafat
Aristoteles.
7. Rasionalisme
Aliran
ini memandang budi atau rasio sebgai sumber dan pangkal dari segala pengertian
dan pengetahuan, dan budilah yang memegang tampuk pimpinan dalam segala bentuk
“mengerti”. Kedaulatan rasio diakui sepenuhnya, yang sama sekali menyisihkan
pengetahuan indera. Sebab, pengetahuan indera hanya menyesatkan saja. Dengan
metode “keragu-raguan” pemikir Rene
Descartes (1596-1650) ini mencapai kepastian. Jika orang ragu-ragu, maka
tampaklah bahwa ia berfikir dan juga tampak dengan segera adanya sebab
berefikir itu. Oleh karena itu dari metode keraguan ini muncul kepastian
tentang adanya diri sendiri. Dirumuskan olehnya dengan istilah “ogitoergosum” yang artinya “saya
berfikir, saya ada”. Tokoh lainnya adalah Barouch Spinoza (1632-167) dan
Leibniz (1646-1716).
8. Empirisme
Aliran
ini mengatakan bahwa bukanlah budi yang menjadi sumber dan pangkal pengetahuan,
melainkan indera atau pengalaman. Aliran ini sealnjutnya memandang bahwa
filsafat tidak ada gunanya bagi hidup, yang berguna adalah ilmu yang diperoleh
melalui indera atau pengalaman dan hanya pengetahuan niliah yang pasti benar.
Jadi jelaslah bahwa umumnya aliran - yang merupakan lawan rasionalisme - ini tidak mau berfilsafat.
Tapi ada juga yang mau berfilsafat dan mengadakan sistem, seperti Prancis Bacon
(1210-1292),Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704) dan David Hume
(1711-1776). Jika kaum rasionalis berpendapat bahwa manusia sejak lahir telah
dikarunai idea oleh Tuhan yang dinamakan ideainnatae
(ide terang benderang atau ide bawaan), maka pendapt kaum empiris berlawanan
atau sebaliknya, yakni bahwa sejak lahir jiwa manusia adalah tabularasa (putih bersih), tidak ada
bekal dari siapapun berupa ideainnatae.
9. Kritisisme :
Immanuel Kant
Immanuel
Kant (1724-1804), seorang filsuf Jerman, mencoba mengatasi pertikaian antara
rasionalisme dan empirisme. Dia mengatakan bahwa masing-masing aliran itu
mamiliki kedaulatan tetapi jika diberikan kedaulatan, masing-masing juga
menemui kesulitan tersendiri. Pada mulanya Kant mengakui rasionalisme, kemudian
empirisme datang mempengaruhinya. Dalam menghadapi empirisme ia tidak begitu
saja menerimanya, karena tahu bahwa empirisme membawa keragu-raguan terhadap
budi. Pada satu pihak dia mengakui kebenaran pengetahuan indera dan di sisi
lain diakuinya pula bahwa budi pun mampu mencapai kebenaran. Tetapi
syarat-syaratnya harus dicari, yaitu dengan menyelidiki atau mengkritik
pengetahuan budi dan akan diterangkan apa sebabnya, maka dari hal itulah
pengetahuan itu menjadi mungkin. Itulah sebabnya mengapa aliran Kant disebut Kritisisme.
Sedangkan cara-cara
mengkompromisasikan antara kedaulatan akal budi dengan pengalaman adalah
sebagai berikut : “bagaimanapun fungsi akal adalah yang pertama dan utama,
namun akal harus mengakui persoalan-persoalan yang ada di luar jangkauannnya. Pada waktu akal tidak mampu meraih pengetahuan, di sinilah batas-batas di
mana ketentuan-ketentuan akal itu tidak beraku lagi, dan sejak itulah fungsi
pengalaman tempil sebagai suatu cara pencapaian pengetahuan”.
10. Idealisme
Ketidakpuasan
terhadap paham Immanuel Kant (kritisisme)
justru muncul dari murid-muridnya sendiri. Yang menjadi sumber ketidakpuasan
mereka adalah ungkapan Kant bahwa “akal
manusia tidak akan sampai pada realitas yang terdalam dan hanya akan sampai
pada pengetahuan tentang fenomena atau gejala-gejalan saja”. Para murid
Kant yang setia bahkan berbalik menyerangnya dan mereka akan bermetafisika
mencari suatu dasar perenungan mereka. Dari dasar itulah akan di bangun suatu
sistem metafisika. Mereka sangat memperhatikan kesadaran dan pengalaman yang
dicari dan didapat pada dasar tindakan. Hal itu adalah “aku” yang merupakan subyek yang se-konkret-kongkretnya. Dari suatu
dasar menelurkan kesimpulan dan kemudian memberi keterangan tentang keseluruhan
yang ada. Yang ada itulah yang disebut dengan liran idealisme. Karena aliran ini berdasarkan subyek, maka ada yang
menyebutnya idealisme subyektif. Tokohnya paling terkenal adalah J.O. Fichte
(1762-1814), FWJ. Schelling (1775-1854) dan GWF. Hegel (1770-1830)
Fichte
mengakui dan memberikan prioritas yang tinggi kepada aku sehingga dikatakan bahwa aku
adalah satu-satunya realitas. Hal ini dapat dimengerti karena aku yang otomon dan merdeka menempatkan diri
menjadi sadar akan obyek yang dihadapi dan diatasi. Perkembangannya terletak
sepenuhnya pada hasil pengatasan obyek (bukan aku). Oleh karena itu nampaklah bahwa aku ini sebagai titik tolak pandangannya dan merupakan kriteria
terakhir dari kebenaran pengetahuan. Maka idealisme Fichte ini nampak sangat
subyektif.
Pandangan
yang lebih jauh dan luas tentang hal ini adalah sebagaimana dikemukakan oleh
Schelling, yang mengakui bahwa obyek (bukan aku)
itu sungguh-sungguh ada. Kalau Fichte mengatakan bahwa adanya obyek itu
tergantung aku (subyek) atau obyek
(bukan aku) itu muncul dari subyek (aku), maka schelling tidak demikian. Dia
mengatakan bahwa aku (subyek) itu muncul dari alam (obyek / bukan aku) yang
sungguh-sungguh ada. Akan tetapi munculnya aku
dari alam adalah yang telah sadar. Jadi, nampak ada keserasian dengan pandangan
Fichte. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa kedudukan budi dan alam adalah
sederajat, yaitu berhadapan sebagai subyek dan obyek. Sebenarnya keduanya
muncul dari Tuhan sebagai identitas yang mutlak. Alam yang muncul dari Tuhan
semakin tinggi derajatnya, dan budi yang juga muncul dari Tuhan akan menyadari
dirinya lalu menjelmakan ilmu, moral, sejarah, negara dan sebagainya. Oleh
karena Schelling mengakui adanya obyek sebagai realitas, maka idealismenya
disebut idealisme obyektif.
Sementara
itu idealisme Hegel dikatakan sangat konsekuen, dan corak umum filsafatnya
dikenal dengan “dialektika”, yaitu tesis
yang menimbulkan antitesis dan
membentuk sintetsis, dan sintesis ini sekaligus merupakan tesis
baru yang menimbulkan antitesis dan membentuk sitesis-sintesis baru, dan begitu
seterusnya. Filsafat Hegel mencari yang mutlak dan yang tidak mutlak. Yang
mutlak adalah ruh (jiwa), tetapi ruh itu menjelma pada alam, dan dengan
demikian sadarlah akan dirinya. Ruh adalah idea, yang artinya pikiran. Dalam
sejarah kemanusiaan sadarlah ruh itu akan dirinya dan kemanusiaan merupakan
bagian dari idea yang mutlak, yakni Tuhan sendiri. Dikatakan selanjutnya bahwa
idea yang berfikir itu sebenarnya adalah gerak yang menimbulkan gerak yang
lain. Gerak ini mewujudkan suatu tesis yang dengan sendirinya menimbulkan gerak
yang berlawanan, yaitu antitesis. Dengan tesis gerak yang mutlak kemudian
muncul antitesis pada akhirnya menimbulkan sintesis yang sekaligus merupakan
tesis baru dan menimbulkan pula antitesis dan sintetis baru, dan begitulah
seterunya.
Jadi dari filsafat Hegel ini memberikan suatu kesimpulan bahwa pada
hakikatnya yang mutlak adalah gerak, bukannya sesuatu yang tetap dan tidak
berubah yang melatarbelakangi sesuatu hal. Proses gerak secara dialektik itu dapat berlaku pada segala kejadian dan
menurut hukum budi. Karena itulah Hegel datang pada kriterianya bahwa semua
yang masuk akal itu sunguh-sungguh ada dan apa yang sungguh-sungguh ada itu
dapat dipahami. Menurut rangkaian pemikiran Hegel, ada tiga cabang filsafat,
yaitu : a) logika atau filsafat tentang idea, b) filsafat alam (idea yang
menjelma pada alam) dan c) filsafat ruh (idea yang kembali pada diri sendiri).
11. Positivisme
Di
Perancis, orang mengalami suatu revolusi yang hebat dengan ditandai dengan
tumbangnya kedudukan wahyu dan agama, diganti oleh tradisi sebagai pegangan dan
kepastian pikiran. Aliran ini disebut dengan tradisionalisme. Di sisi lain muncul pula aliran baru bernama positivisme yang di tokohi oleh August
Comte (1798-1857). Menurut August Comte, jiwa dan dan budi (akal) adalah basis
dari teraturnya masyarakat. Karena itu, jiwa dan budi harus mendapatkan
pendidikan yang cukup dan matang. Dikatakan bahwa sekarang ini sudah masanya
hidup dengan mengabdi pada ilmu positif, yaitu matematika, fisika, biologi dan
ilmu kemasyarakatan. Adapun yang tidak positif dapat dialami, dan sebaliknya
orang akan bersikap tidak tahu menahu. Budi itu mengalami ting tingkatan sebagai
berikut :
1. Tingkat teologi,
yang menerangkan segala sesuatunya dengan pengaruh dan sebab-sebab yang
melebihi kodrat.
2. Tingkat metafisis,
yang hendak menerangkan segala sesuatu melalui abstraksi.
3. Tingkat positif,
yang hanya memperhatikan yang sungguh-sungguh dan sebab akibat yang sudah
ditentukan.
Tokoh
aliran positivisme antara lain : H. Taine (1828-1893), yang mendasarkan
positivismenya pada ilmu jiwa, sejarah, politik dan kesusasteraan, Emile
Dulkheim (1858-1917) yang menjadikan positivisme sebagai asas sosiologis dan
John Stuart Mill (1806-1873) yang menggunakan sistim positivisme pada ilmu
jiwa, logika dan kesusasteraan.
12. Evolusionisme
Akibat
perkembangan aliran positivisme, maka lahirlah aliran “evolusionisme” dengan tokoh yang paling terkenal adalah Charles
Darwin (1809-1828) dan Herbert Spencer (1820-1903). Darwin mengajarkan teori
perkembangan (evolusi) bagi segala
sesuatu, termasuk manusia. Manusia menurutnya merupakan perkembangan tertinggi
dari taraf hidup yang paling rendah, yaitu alam, yang juga diatur oleh
hukum-hukum mekanik. Hukum survival of
the fittest (kelangsungan hidup yang terkuat) dan struggle for live (perjuangan hidup untuk bertahan hidup) dari
tumbuh-tunbuhan dab hewan berlaku pula bagi manusia, dan hal itu merupakan
hukum tertinggi bagi manusia. Karena itulah Darwin sampai memandang bahwa
manusia itu tidak berbeda dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan serta dengan benda
apapun. Akibatnya, akan ada suatu predikat yang muncul dari teori perkembangan
ini, yaitu kemungkinan di kemudian hari akan muncul manusia yang lebih sempurna
dari manusia yang ada sekarang. Karena itu ditinjau dari segi filsafat, pada
pokoknya teori ini tidak berbeda dengan pandangan positivisme mengenai
pendapatnya tentang ilmu pengetahuan. Manusia tidaklah tahu tentang hal-hal
yang mengatasi pengalaman, karena itu yang sungguh-sungguh ada yaitu yang
dialami, sedangkan yang lain bukanlah kesungguhan disebut Darwinisme.
Lebih
lanjut Herbert Spencer memberikan kemajuan pada sistem filsafat manurut
evolusionisme Ia berpendapat bahwa yang dapat dikenal adalah yang menjadi bukan yang ada. Ilmu merupakan sebagian dari pengetahuan “yang menjadi”
tersebut. Ilmu mempunyai pangkalnya pada beberapa kebenaran apriori :
ketidakmusnahan bahan, kehendak gerak dan pertahanan kekuatan. Proses dunia ini
tiada lain merupajan berkumpulnya kembali gerak dan bahan. Karena itu evolusi
adalah peralihan hubungan yang lebih erat (integral) dalam baahan, yang dengan
sendirinya disertai oleh perluasan gerak. Jadi, hidup adalah peralihan dari
bahan mati. Evolusi memberikan keterangan tentang hubungan yang ada di antara
gejala-gejala. Akan tetapi evolusi tidak memberi keterangan terakhir tentang
adanya gejala-gejala itu.
13. Materialisme
Positivisme
dan evolusionisme pada prinsipnya mengingkari jiwa, hidup dan mati manusia itu
tidak berbeda, sebagaimana evolusionisme gerak atau perkembangan menghasilkan
sesuatu dengan sendirinya. Dari keterangan bahwa semua gerak dan perkembangan
tidak ada yang menyebabkan, maka aliran ini disebut materialisme. Materialisme berpendirian bahwa pada hakikatnya
segala seautu adalah bahan belaka. Pandangan ini menemukan kejayaannya pada
abad ke 19 dan di Eropa sangat terasa pengaruhnya, misalnya di Prancis yang
dipelopori oleh Lamettrie (1709-1751). Menurut Lamettrie manusia adalah mesin
belaka dan sama dengan benatang. Prinsip hidup pada umumnya diingkari dengan
menunjukkan bukti bahwa “tanpa jiwa badan dapat hidup”, tetapi jiwa tanpa badan
tidak dapat hidup. Contohnya jantung katak yang dikeluarkan dari tubuhnya masih
dapat berdenyut beberap detik, namun sebaliknya tidak mungkin ada katak tanpa
badan. Materialisme ini meluas sampai ke Jerman dengan tokoh-tokohnya yang
terkenal Feuebach (1804-1872), Buchner dan Molenschot
Menurut
Feuebach alam adalah satu-satunya realitas, sehingga dikatakan bahwa manusia
pun benda-benda alam. Pengetahuan memperoleh sumbernya pada pengalaman. Tujuan
hidup diarahkan pada alam ini, dan apa yang ada di luar alam ditolak.
Kebahagiaan terletak pada kepuasan hidup alamiah. Kesusilaan hanyalah sebagai
usaha untuk mencapai kebahagiaan alamiah tersebut. Namun demikian, kebahagiaan
tidak berdasar pada egoisme melainkan pada sosialitas. Susila adalah suatu
tindakan yang tearah menuju kebahagiaan bersama. Hubungan aku dan kau merupakan
inti kemanusiaan, maka kebahagiaanku adalah kebahagiaanmu dalam arti milik
bersama. Jadi dasar kebahagiaan adalah pengalaman sedangkan dasar kesusilaan
sebagai alat untuk mencpai kebahagia-an juga dari pengalaman. Dari pengalaman
kita tahu bahwa usaha mencari kebahagiaan itu harus mengindahkan kebahagiaan
orang lain. Meskipun Feuebach menitikberatkan pada alam sebagai terminologi,
akan tetapi dia adalah seorang materialis yang menghargai dan mengakui hidup
bahkan baginya hidup adalah dasar yang utama, namun hidup yang berada dalam
alam belaka.
Tokoh
materialisme yang lain adalah Karl Marx (1818-1883) dengan paham yang lebih
runcing dan ekstrim. Dia terpengaruh oleh Hegel dan Feuebach. Dari Hegel
diterima ajaran dialektika dan pendapat lain tentang hubungan rapat antara
filsafat, sejarah dan masyarakat. Dari Feuerbach diterima ajaran tentang
kecenderungan terhadap keruhanian yang dapat dikembalikan pada jasmani dan
pengarahan minat kepada manusia yang hidup di dalam masyarakat. Marx
menghubungkan rapat-rapat antara filsafat dan ekonomi. Yang terutama baginya
adalah bertindak, bukan hanya
kehendak dan tahu saja. Sedangkan tugas akhir bagi ahli pikir adalah mengubah
dunia, bukan menerangkan tentang dunia.
Dikatakan
selanjutnya bahwa hidup manusia ditentukan oleh keadaan-keadaan ekonomi. Segala
hasil tindakannya (ilmu, seni, agama, kesusilaan, hukum dan politik) merupakan
endapan dari keadaan ekonomi, dan
keadaan ekonomi itu sendiri ditentukan sepenuhnya oleh sejarah. Masyarakat pada
mulanya tidak mengenal pertentangan-pertentangan dalam tingakatannya, kemudian
oleh karena adanya keahlian dalam
pekerjaan dan karena adanya milik
maka muncullah tingkatan atau kelas dalam masyarakat. Karena itu lahirlah
golongan berada dan golongan miskin yang masing-masing disebut
sebagai golongan kapitalis dan
golongan proletariat. Kadua golongan
ini selalu bertentangan dan semakin besar juga pengaruhnya, sehingga meletuslah
revolusi. Kaum proletar kemudian mengambil alih kekuasaan dari kaum kapitalis.
Bila demikian, makamuncullah suatu masyarakat tanpa kelas yang berarti
kepemilikan ada pada masyarakat atau negara. Dan negara itu tidak nasional
melainkan internasional dan inilah akhir sejarah.
Adapun
manusia, kata Marx, ditentukan oleh alam di atas kodratnya yang dipandang dari
sudut kemasyarakatannya. Jadi manusia individu tidak bermakna, dan dianggap
manusia sejauh ia bermasyarkat. Selanjutnya masyarakat itu harus berkembang,
dan perkembangannya itu disebut sejarah.
Perkembangan sejarah harus didorong oleh kekuatan-kekuatan untuk menghasilkan.
Jadi ada identitas antara perkembangan masyarakat dengan perkembangan materi.
Ditambahkan bahwa yang nyata dari perkembangan masyarakat adalah dorongan untuk
hidup, yaitu makan, minum, pakaian dan lain-lain yang hal ini diusahakan oleh
manusia sendiri. Dan untuk mengusahakannya diperlukan alat-alat yang kesemuanya
adalah materi belaka, sementara yang diusahakan juga materi. Karena itulah
keseluruhan perkembangan ditentukan oleh materi. Paham ini selanjutnya disebut materialisme historis.
Lain
daripada itu, untuk mewujudkan cita-cita maka golongan tak bermilik haruslah
menghapus kaum bermilik (kapitalis yang merupakan lawan). Menurut analisis
Marx, satu-satunya senjata kaum kapitalis adalah agama yang oleh dia dianggap
sebagai racun bagi rakyat. Oleh
karena itu agama harus dihapus, sebab hal itu tidak berguna sama sekali bagi
kaum proletar dan tidak perlu ada kebahagiaan di kemudian hari. Proletariat
tidak beragama tapi berfilsafat, dengan filsafat dialektik dan berpolitik
dengan partai komunis, sedangkan isi ilmu, seni dan kesusilaan ditentukan oleh
kaum miskin.
Meskipun
tampak dalam sejarah bahwa materialisme mempunyai pengaruh yang besar, namun
pada saat itu pula ada perlawanan yang hebat dari aliran idealisme yang juga
besar pengaruhnya. Gerakan idealisme ini menganjurkan ajaran Kant agar para
filsuf kembali kepada filsafat. Gerakan ini didukung oleh murid-murid Kant dan
dinamakan “Neo-Kantianisme” dengan
tokohnya antara lain H. Cohen dan Paul Natorp (1854-1924) yang keduanya
termasuk penganut aliran Marburg.
gala
sesuatu itu cukup bagi dirinya sendiri.
Referensi:
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, PT. Remaja Rosdakarya Bandung, 2000, hal. 9
[29][7] Kata “sofis” mengandung arti tipuan, hipokret dan sinis. Selanjutnya
baca Ahmad Tafsir, ibid, hal. 50 - 51
[32][10] Miska Muhammad Amien, Epistemologi
Islam Pengantar Filsafat Pengetahaun Islam, UI Press, Jakarta, 1983, hal. 4
- 7
[41][19] Baca Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Yogyakarta : Tiara
Wacana Yogya, Cet. ke 7 1996 : 302 dan seterusnya
[7][7] Kata “sofis” mengandung arti tipuan, hipokret dan sinis. Selanjutnya
baca Ahmad Tafsir, ibid, hal. 50 - 51
[10][10] Miska Muhammad Amien, Epistemologi
Islam Pengantar Filsafat Pengetahaun Islam, UI Press, Jakarta, 1983, hal. 4
- 7
[19][19] Baca Louis O. Kattsoff, Pengantar
Filsafat, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, Cet. ke 7 1996 : 302 dan
seterusnya
Komentar
Posting Komentar